KaltimSamarinda

Orangutan Kalimantan Kini Tersebar Acak

369
×

Orangutan Kalimantan Kini Tersebar Acak

Sebarkan artikel ini

Samarinda-Strategi Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia periode 2007-2017 sudah berakhir. Banyak catatan dan perkembangan yang terjadi selama satu dekade. “ Masalah orangutan di Kalimantan ini bisa dikategorikan menjadi lima isu,” ujar Yaya Rayadin, ahli orangutan dari Universitas Mulawarman dalam konferensi pers Penyusunan Strategi Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Indonesia Regional Kalimantan Timur 2017-2027 di Hotel Grand Victoria Samarinda, Selasa 14 November 2017. Kelima isu tersebut antara lain : masalah kebijakan; kapasitas sumber daya manusia, kegiatan pembukaan kawasan habitat, adanya perburuan, dan kebakaran hutan.

Yaya mengurai dari sisi kebijakan, masih ada tantangan pertanggungjawaban atas konflik orangutan dan manusia. Ia mencontohkan ketika ada  kasus konflik orangutan-manusia, presepsi pemerintah daerah di tingkat provinsi maupun kotamadya/kabupaten, tanggung jawab penyelesaiannya ada di Balai Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem atau Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal, menurut Yaya, konflik terjadi salah satunya lantaran keluarnya izin konversi kawasan hutan yang statusnya APL (Areal Penggunaan Lain) untuk konsesi perkebunan sawit, perkebunan, pertambangan maupun pengelolaan hutan.

Kemudian, ia melanjutkan, isu kedua adalah tentang peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Konflik orangutan dan manusia bisa tertangani dengan baik, bila tahu cara penanganannya. Kini, mayoritas perusahaan pemegang konsesi (sawit, tambang, hutan) sudah memiliki satuan tugas (satgas) orangutan. Keberadaan satgas pengelolaan dan pemantauan jenis-jenis satwa yang dilindungi, khusunya orangutan di unit manajemen menjadi satu prasyarat dalam sertifikasi produk mereka baik untuk sawit berkelanjutan (ISPO/RSPO), maupun pengelolaan hutan lestari (FSC/PHPL). Sehingga, kata Yaya, laju konflik di kawasan perusahaan di kaltim sudah  menurun. Namun, konflik justru masih ditemukan di perkebunan masyarakat. “Untuk konflik di tingkat masyarakat ini memang harus dicari solusinya,” kata Yaya. Alternatif termudah adalah memberdayakan satgas perusahaan  yang lokasinya berdekatan dengan  kebun masyarakat dan sosialisasi yang intensif. Sejumlah satgas-satgas terlatih yang berada didalam perusahaan, terbukti mampu membantu mengendalikan konflik orangutan yang masuk di wilayah masyarakat. Namun, di masa depan, memang diperlukan peningkatan kapasitas masyarakat dalam meredam konflik dengan orangutan.

Isu ketiga, Yaya menambahkan, adalah pembukaan kawasan. Banyaknya pembukaan kawasan habitat orangutan membuat primata besar ini ditemukan di tempat-tempat yang dulu takpernah terpikirkan. Ia mencontohkan kawasan Delta Mahakam yang notabene didominasi mangrove dengan satwa kunci Bekantan, pernah ditemukan Orangutan. Begitupun jalan-jalan di sepanjang Berau menuju Kecamatan Kelay, Kutai Timur, kanan-kirinya sudah terlihat sarang orangutan. Pemandangan serupa juga ditemukan di kawasan Sebulu yang jalanannya sudah bisa terlihat sarang orangutan.

Keempat, kata Yaya adalah perburuan. “Perburuan di sini bukan bermaksud memburu orangutan,” kata dia. Melainkan alat jerat berburu babi atau Rusa  yang menyebabkan orangutan terperangkap, kemudian cidera. Terakhir adalah kebakaran hutan. Kebakaran jelas menggangu kawasan hewan penjelajah ini, karena semakin sedikit area tempat pergerakan orangutan. Akibat dari lima ancaman tersebut, populasi orangutan kini tersebar di mana mana baik didalam maupun diluar habitat . “Mereka menyebar ke tempat-tempat yang menyediakan tanaman pakan bagi orangutan, termasuk kawasan perkebunan buah milik masayarakat,” kata Yaya.

Dampak yang tidak terduga karena masifnya ancaman ini adalah terganggunya struktur populasi. Menurut Yaya, orangutan sekarang banyak ditemukan berkelamin jantan dan usia dewasa. “Kondisi tersebut lantaran mayoritas  mereka (jantan dan dewasa) yang mampu bertahan hidup,” kata dia. Adapun yang induk betina,bayi serta anak-anak, banyak yang tidak bisa bertahan lantaran desakan dari lima isu tersebut. Perubahan anatomi juga terlihat di wilayah temuan orangutan. Orangutan yang ditemui di wilayah hutan alam atau kawasan bernilai konservasi tinggi masih memiliki berat normal sekitar 40-60 kilogram untuk induk dewasa. Sementara untuk yang ditemukan di wilayah terdegradasi, beratnya bisa mencapai 25 kilogram induk dewasa. “Kurus sekali,” ujar dia. Pada kondisi ini diduga dapat menyebabkan penurunan populasi.

Orangutan di Kalimantan TImur dalam kajian terakhir melalui  Population and Habitat Viability Assessment Orangutan (PHVA)2016 ditemukan dalam 6 sub habitat dengan kondisi beragam. Kondisi habitat yang masih baik bisa ditemukan kawasan bentang alam Kutai-Bontang dan bentang alam Wehea-Kelay serta Sungai Lesan. Pada kawasan Sangkulirang dan Belayan-Senyiur, kondisi habitat orangutannya masuk dalam kategori menengah. Adapun orangutan di Sungai Wein dan Beratus, habitatnya paling buruk kondisinya. “Bisa dibilang bahwa di Kaltim paling banyak ditemukan di Kutai Timur dan Berau,” kata Yaya.

Melihat kondisi kritis mamalia besar ini, sebenarnya sudah banyak pihak yang menyadarinya. “Forum Multipihak sudah didirikan atas mandat SRAK,” ujar Fasilitator dari Forum Orangutan Indonesia Pahrian Siregar.  SRAK sebagai dokumen negara yang ditetapkan menjadi Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, diharapkan mampu menjaga dan menyelamatkan orangutan di Indonesia. Hasil Pertemuan SRAK di Kalimantan Timur hari ini akan digabungkan dengan pertemuan serupa se-Kalimantan dan se-Sumatra untuk merumuskan SRAK nasional.

Di Kalimantan Timur, sudah ada model-model forum multipihak pengelolaan orangutan yaitu Forum Pengelolaan Kawasan Ekosistem Wehea Kelay. Dalam kawasan seluas 308.000 hektar, koridor Orangutan dibangun dengan melibatkan pemerintah, masyarakat, swasta dan LSM. Orangutan yang menjelajah di kawasan Wehea-Kelay setidaknya bisa aman, meski memasuki konsesi sawit ataupun konsesi hutan. “Dalam forum KEE Wehea-Kelay, semua pihak sepakat dan berkomitmen menjaga orangutan,” kata Niel Makinuddin, Manajer Senior di tingkat Pemerintahan Provinsi The Nature Conservancy Indonesia. Merujuk hasil PHVA, Niel melanjutkan, status orangutan di kawasan ini masih berstatus baik se-Kalimantan Timur.

Kepala Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam Ekosistem Kalimantan Timur Sunandar Trigunajasa Nurochmadi mengatakan kemajuan Kalimantan Timur cukup luar biasa dalam penanganan satwa liar. “Konflik berkurang dan sudah sedikit laporan satwa liar yang dipelihara masyarakat,” kata dia dalam kesempatan yang sama. Balai Konservasi yang awalnya menerima laporan konflik saban minggu bisa tiga kali, sekarang rata-rata hanya sekitar dua pekan sekali. Sunandar mengatakan komitmen para pemangku kepentingan (pemerintah, dunia usaha, akademisi, lembaga swadaya masyarakat dan masyarakat) di Kalimantan Timur ini sudah membaik. Secara populasi, menurut Sunanda ada kecenderungan penurunan kepadatan orangutan. Namun, ia mengingatkan, untuk menghitung populasi satwa liar itu sulit. Sehingga tidak ada angka pasti untuk populasi orangutan Kalimantan Timur, perkiraannya ada di kisaran 54 ribu individu. (Rilis)