Parasnya seolah-olah mencerminkan kebahagiaan. Tetapi jiwanya telah hancur berkeping-keping. Setiap anak ingin memiliki keluarga yang sempurna walau sederhana, tetapi tidak semua anak dapat memilikinya. Terkadang ia merasa iri, ketika melihat orang lain dapat bahagia bersama keluarganya. Luka malah membekap hatinya, walau senyum jadi cadar dalam tiap gaung sosialnya.
Ibunya sosok orang yang sabar, membuat anak-anaknya geram menahan dendam namun taat pada sang induk agar menahan diri. Bukan tamparan hidup membuat keluarganya tersudut ke ujung ring. Namun karena pukulan-pukulan dari lelaki yang disebut Bapak, terjadi didepan mata-mata kecil tak berdosa.
Sumpah serapah dibaluri kepura-puraan, seakan-akan dapat meluruhkan tiap dosa atas judi, mabuk hingga madat, menipu, bermain wanita seakan kegagahan semata-mata nafsu biologis, hingga mengancam untuk membuang buah hatinya dihadapan wanitanya. Lelaki macam-macam dia.
Memasuki usia 4 tahun, tak pantas dia mengalami kepahitan tak berujung. Bapak merantau ke Celebes, bukan untuk mengadu nasib. Namun menggelar biduk rumah tangga dengan makhluk Tuhan lainnya, semoga tak bernasib sama dengan kami yang ditinggalkannya tanpa bekal apalagi jejak.
Suatu pagi yang cerah, Ibunya kemudian memilih lelaki lain sebagai pendamping hidup. Dari sana ia memiliki dua orang adik. Walau memang luka selalu jadi trauma mendalam, kedamaian tetap tak mau datang padanya. Jiwanya tetap meronta-ronta, mengaum sekeras-kerasnya setiap saat.
Dia tumbuh jadi pemuda pemurung dan penuh beban, lagi-lagi topeng senyum layaknya senyum vendetta yang booming di film keluaran negeri Eropa. Tak ada yang bisa pemuda itu jadikan lubang pendengar yang baik.
Memiliki banyak teman tak sepenuhnya membuat dendamnya tenggelam. Walau banyak pula tema-temannya mengaku senasib sepenanggungan karena berasal dari keluarga broken home. Tetapi kadarnya berbeda-beda, kadar yang tak bisa dibandingkan kadar karat emas apalagi permata.
Tidak ada yang lebih sempurna di dunia, dibanding kasih sayang kedua orangtua. Sekian lama dia mencari, tetap tak dia temukan keteduhan bagi hatinya yang terluka. Pelabuhan bertepi malah nyaris seperti lelaki yang ia benci. Merokok, minum alkohol, pesta pora bersama wanita. Ia merasa bahagia dengan semua itu. Semua bebannya menghilang, seiring panen keburukan menumpuk penuh dalam separuh jalan kehidupan.
“Menjadi dirimu enak sekali. Bebas pulang kapan saja, tak peduli pagi, siang, sore, maupun malam,” ujar Lala sahabatnya. Sering dia dapati komentar serupa dari sahabat-sahabat. Semacam rasa kasihan tanpa membawa perubahan berarti dalam hidupnya.
Usianya sekarang sudah 20 tahun. Teman-temannya semakin banyak. Suatu hari salah-satu temannya mengatakan, “Bro! Coba lihat lagi dunia lebih luas dan masuk ke dalamnya. Diluar sana masih banyak yg senasib dengan kita. Bagaimana bro, cobalah sedikit bermain dan dekat dengan Allah. Mungkin ada kunci disana, sejauh-jauhnya tersesat kita pasti rindu pintu”.
Seiring waktu, dia mulai mencari pintu-pintu yang kuncinya dapat terbuka untuknya. Ia mencoba bangkit dari keterpurukan. Mencoba merubah kebiasaan lalu mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Hatinya berguman sendiri, dan seringkali berguman tanpa sebab atas jalan kembali. Hatinya berucap, “Terimakasih Ya Allah. Mempertemukanku dengan hal-hal sederhana namun indah. Seakan-akan penantian atas nama keluarga tercinta bersemi kembali”.
Langkah kakinya mengantarkan ke pintu dimana Ibu dan Ayah tirinya menunggu dengan tangan terbuka. Mereka memeluknya erat dan seakan-akan takkan mau melepasnya kembali, ia dikurung dengan senang dan tenangnya. Selimut kehangatan itu membuatnya terlelap nyenyak, bahkan saat Matahari naik ke peraduan dengan santainya. Ia berdamai dengan keakuannya, berdamai sedamai-damainya.
Hancur lebur bukanlah akhir dari segalanya, kepingan-kepingan yang hancur mulai disusun perlahan. Hidup bak puzzle yang menarik jika kepingannya tersusun baik. Mendorongnya memiliki cinta, tidak hanya satu cinta namun segala cinta kasih sayang anak manusia. Hidup adalah perjalanan yang dimulai dengan perjanjian, tentu dijalani dengan penuh keikhlasan. Allah Maha Pengasih, Allah Maha Penyayang, dan kehidupan adalah tantangan yang harus ditaklukkan dengan penuh kasih sayang.
NB: Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Tarbiyah, Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Sangatta. Mengaku idealis, hobinya memberontak terhadap kemapanan semu dan selalu berpihak pada orang-orang tertindas secara kultur.