Berita PilihanOPINI

Jabatan Kepala Dinas dan Permainan Kekuasaan

1407
×

Jabatan Kepala Dinas dan Permainan Kekuasaan

Sebarkan artikel ini
Jabatan Kepala Dinas dan Permainan Kekuasaan
ilustrasi (Sumber foto : detakbanten.com)

OPINI – Bulan Agustus dan September 2025 menjadi momentum strategis bagi para kepala daerah baik gubernur, bupati, maupun wali kota untuk menyusun ulang barisan kekuasaan mereka. 

Ini bukan sekadar rutinitas pemerintahan atau pemenuhan kebutuhan organisasi birokrasi, melainkan sebuah momen penting yang sarat dengan kepentingan politik dan konsolidasi kekuasaan.

Momentum tersebut muncul karena regulasi kepegawaian mengatur bahwa kepala daerah baru dapat mengganti atau memutasi pejabat setelah enam bulan menjabat. Artinya, pada bulan-bulan inilah, kepala daerah memiliki ruang legal untuk menempatkan orang-orang pilihannya baik di posisi eselon II, III, maupun IV.

Namun, kenyataannya, proses ini sering kali tidak berjalan berdasarkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme. Penempatan pejabat dalam struktur dinas dan badan daerah, idealnya, dilakukan dengan memperhatikan kompetensi, rekam jejak, dan integritas ASN yang bersangkutan.

Tetapi dalam praktik di lapangan, posisi strategis seperti kepala dinas, kepala bidang, sekretaris dinas, hingga kepala seksi justru kerap diberikan kepada orang-orang yang memiliki kedekatan pribadi atau politis dengan kepala daerah. Mereka bisa berasal dari kalangan keluarga, kolega, tim sukses, bahkan penyokong dana saat kampanye pemilihan kepala daerah.

Berbagai peraturan memang telah disusun untuk menjaga profesionalisme birokrasi. Namun banyak kepala daerah tetap bisa mengakali aturan tersebut melalui celah-celah formal yang tersedia.

Akibatnya, promosi jabatan di lingkungan pemerintah daerah kerap kali menciptakan kegaduhan, kecemburuan internal, serta menurunkan motivasi para ASN yang telah bekerja keras dan berprestasi.

Lebih ironis lagi, dalam sejumlah kasus, pejabat yang diangkat tidak memiliki latar belakang pendidikan atau pengalaman yang sesuai dengan bidang kerjanya. Hal ini sangat berisiko, bukan hanya bagi kinerja organisasi, tetapi juga terhadap pelayanan publik secara keseluruhan.

Bagaimana mungkin kita bisa berharap memiliki pejabat yang jujur, profesional, dan bersih, jika mereka yang diberi kepercayaan justru bukan orang yang kompeten di bidangnya, dan hanya dipilih karena menyenangkan kepala daerah?

Sudah saatnya pemerintah pusat, melalui Kementerian Dalam Negeri dan Komisi ASN, memperketat proses seleksi pejabat daerah. 

Harus ada pengawasan melekat terhadap mutasi dan promosi jabatan, termasuk mewajibkan uji kompetensi terbuka yang transparan dan berbasis rekam jejak. Jika tidak, birokrasi hanya akan menjadi alat kekuasaan semata, bukan sarana pelayanan kepada rakyat.

(imran Amir/utama)