Oleh: Imran Amir
OPINI – Terpilihnya Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden ke-7 Republik Indonesia, Joko Widodo, sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), bukan hanya berita politik biasa.
Di balik pencapaian itu, publik melihat lebih dari sekadar anak muda yang meniti karier di jalur politik. Ini adalah isyarat kuat bahwa keluarga Jokowi masih punya rencana panjang di panggung kekuasaan nasional, bahkan setelah sang presiden menyelesaikan masa jabatannya.
Kaesang memang datang dengan citra segar, khas anak muda generasi digital yang dekat dengan publik lewat media sosial. Namun, langkah politiknya yang begitu cepat dan langsung menduduki posisi puncak partai tentu menimbulkan pertanyaan. Tanpa rekam jejak organisasi politik yang panjang, bagaimana mungkin ia bisa begitu mudah menduduki posisi tertinggi di PSI jika bukan karena faktor nama belakangnya?
Sebelumnya, sempat muncul isu bahwa Jokowi akan maju sebagai ketua umum PSI, bersaing secara terbuka, bahkan simbolik, dengan putranya sendiri. Namun, kabar itu hilang begitu saja. Tanpa penjelasan, tanpa klarifikasi. Yang muncul justru keputusan mengejutkan: Kaesang yang diangkat menjadi ketua umum. Absennya Jokowi dari “pertarungan” itu justru menimbulkan kecurigaan baru. Apakah ini memang bentuk pengunduran diri, atau justru manuver diam-diam untuk memuluskan jalan anaknya?
Di titik inilah publik mulai menyadari bahwa Jokowi, yang kerap tampil sebagai pemimpin sederhana dan rakyat biasa, ternyata memainkan strategi politik yang kompleks. Banyak pihak menduga bahwa Jokowi masih menginginkan eksistensinya bertahan di politik nasional, setidaknya lewat anak-anaknya. Gibran sebagai Wakil Presiden dan Kaesang sebagai Ketua Umum PSI adalah representasi dari kelanjutan kuasa dalam bentuk baru.
Apa yang selama ini dikritik para lawan politik Jokowi bukan tanpa dasar. Jokowi dikenal sering mengatakan satu hal di depan publik, namun realisasinya justru sebaliknya. Ketika ditanya apakah anak-anaknya akan masuk politik, ia menegaskan bahwa mereka akan fokus menjalankan usaha. Namun kenyataannya, Gibran maju sebagai calon wakil presiden, dan kini Kaesang memimpin partai politik. Tidak sedikit yang menilai gaya komunikasi Jokowi sebagai “seng kiri, belok kanan” terlihat sejuk di permukaan, namun penuh perhitungan di dalam.
Meski secara formal sudah dipecat dari PDI Perjuangan, Jokowi tampaknya belum sepenuhnya angkat kaki dari pengaruh di partai berlambang banteng tersebut. Dalam dinamika politik Indonesia, tak sedikit tokoh yang meski kehilangan status formal, tetap memainkan peran penting lewat loyalis-loyalis di tubuh partai. Jokowi diyakini masih memiliki kaki tangan yang dapat digunakan sewaktu-waktu untuk melakukan konsolidasi politik.
Skenario yang tampak kini mengindikasikan bahwa Jokowi sedang menyiapkan dua panggung: satu lewat PSI, yang mulai digerakkan oleh Kaesang sebagai kendaraan baru, dan satu lagi lewat pengaruhnya yang masih tersisa di PDI Perjuangan. Dalam sistem demokrasi kita yang fleksibel terhadap interpretasi kekuasaan, bukan hal mustahil jika Jokowi nantinya kembali memainkan peran penting di partai besar. Undang-undang saja bisa “dibelokkan” untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden—apalagi sekadar aturan internal partai.
Publik boleh saja menganggap ini sebagai dinamika biasa dalam politik. Tapi kita tidak boleh menutup mata terhadap implikasi besarnya. Ketika dinasti kekuasaan mulai mengakar dalam sistem politik, maka demokrasi kita berada di persimpangan. Politik tidak lagi menjadi ajang pertarungan ide dan gagasan, melainkan diwariskan layaknya perusahaan keluarga.
Kaesang mungkin memiliki niat baik dan semangat perubahan. Namun ketika proses politiknya tak transparan dan terlalu mudah diduga dikendalikan, maka yang tercipta bukanlah kepercayaan, melainkan kecurigaan. Dan dalam demokrasi, rasa curiga publik adalah sinyal penting yang tak boleh diabaikan.
Jika Jokowi memang ingin dikenang sebagai pemimpin rakyat, maka sebaiknya ia benar-benar tahu kapan saatnya mundur dari panggung dan melepaskan kendali. Sebab jika tidak, sejarah akan mencatatnya bukan sebagai tokoh yang membawa perubahan, tapi sebagai bapak dari sebuah dinasti baru.











