Di tengah hiruk pikuk pembangunan nasional dan modernisasi kota-kota besar, perempuan di komunitas perdesaan seringkali membangun perubahan dalam diam. Mereka tidak bersuara lantang di ruang-ruang diskusi elit, tetapi tangan-tangan mereka menenun masa depan komunitas dengan ketekunan dan keberanian yang kerap luput dari sorotan. Di ladang, di balai desa, dan di ruang-ruang keluarga, perempuan desa menjadi penjaga nilai, penggerak ekonomi, serta penjaga pendidikan generasi penerus.
Ironisnya, dunia modern cenderung menilai perubahan sosial dari besarnya proyek atau gemerlapnya statistik. Padahal, transformasi sejati kerap berakar dari tindakan-tindakan kecil yang konsisten, bermula dari pinggiran. Fenomena “Nenengisme” dan kiprah perempuan-perempuan seperti Nia Purnamasari di Kutai Timur adalah bukti hidup bahwa revolusi sosial tidak selalu lahir dari panggung besar, melainkan dari keberanian sehari-hari untuk memperjuangkan kemandirian komunitas. Tulisan ini akan membahas bagaimana “revolusi diam-diam” itu dirajut, melalui studi kasus nyata dan refleksi dari gerakan sosial berbasis tindakan sederhana.
Studi Kasus: Nia Purnamasari dan KSM Sejahtera Bersama
Nia Purnamasari, seorang guru Taman Kanak-Kanak di Desa Bukit Permata, Kutai Timur, merupakan contoh nyata perempuan desa yang menenun perubahan melalui tindakan kolektif. Pada tahun 2023, ia memimpin pembentukan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM) “Sejahtera Bersama”, sebuah wadah bagi perempuan desa untuk mengembangkan ekonomi lokal melalui pelatihan hortikultura, pengolahan hasil pertanian, dan usaha mikro berbasis komunitas (Kaltimtoday.co, 2025).
Melalui kepemimpinan Nia, KSM ini tidak hanya meningkatkan keterampilan anggota, tetapi juga membangun kemandirian finansial bagi keluarga-keluarga desa. Setiap hasil panen yang diolah menjadi produk bernilai tambah memperluas akses pasar dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Inisiatif ini mengurangi ketergantungan perempuan pada pendapatan suami dan memperkokoh posisi perempuan dalam pengambilan keputusan domestik maupun komunitas.
Sebagaimana dicatat oleh Kaltimtoday.co (2025), Nia mengungkapkan bahwa kunci keberhasilan KSM “Sejahtera Bersama” adalah “pengelolaan yang baik, program terarah, dan sumber daya manusia yang mumpuni”. Langkah-langkah kecil ini membuktikan bahwa perubahan sosial tidak harus dimulai dari proyek berskala besar, melainkan dari kolaborasi sederhana yang konsisten dan inklusif di tingkat komunitas.
Peran perempuan seperti Nia sejalan dengan hasil penelitian Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan bahwa keterlibatan aktif perempuan dalam kelompok komunitas desa meningkatkan produktivitas keluarga dan mempercepat pengentasan kemiskinan perdesaan (BPS, 2024). Oleh karena itu, KSM “Sejahtera Bersama” tidak hanya berkontribusi pada ekonomi anggota, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial di Desa Bukit Permata melalui solidaritas perempuan.
Fenomena Nenengisme: Refleksi Aksi Kecil Berdaya Besar
Fenomena “Nenengisme” bermula dari kisah Neneng Rosdiyana, seorang ibu rumah tangga dan petani urban yang tanpa sengaja menginspirasi banyak orang melalui aktivitas sederhana di komunitasnya. Berbekal semangat bertani mandiri dan solidaritas komunitas, Neneng membangun jejaring perempuan tani yang berbagi hasil panen, mengelola pasar kecil, dan memperjuangkan kemandirian ekonomi lokal (Balitopik.com, 2025).
Tidak ada jargon rumit dalam gerakan ini. Seperti dikutip dari Balitopik.com (2025), Neneng menyuarakan prinsipnya dengan lugas: “Kalau bisa makan dari kebun sendiri, kenapa harus tergantung?” Filosofi ini memperlihatkan bahwa kekuatan perubahan sosial sering kali terletak pada tindakan kecil yang konsisten, bukan pada slogan besar.
Selain memperkuat ketahanan komunitas, fenomena Nenengisme juga memperlihatkan bagaimana perempuan mampu membangun narasi alternatif terhadap model pembangunan yang seringkali terpusat dan elitis. Dengan berfokus pada ketahanan pangan lokal, berbagi hasil pertanian, dan solidaritas komunitas, Nenengisme menawarkan jalan perubahan yang bersandar pada kemandirian dan partisipasi aktif warga. Gerakan ini memperlihatkan bahwa kekuatan sosial tidak selalu harus bergantung pada bantuan eksternal, melainkan bisa lahir dari semangat kolektif warga itu sendiri.
Dalam konteks sosial yang lebih luas, semangat Nenengisme menunjukkan bahwa perubahan sosial berkelanjutan bermula dari penguatan basis komunitas. Ketika perempuan di tingkat akar rumput mampu mengorganisasi diri dan membangun jejaring produktif, dampak positifnya tidak hanya dirasakan dalam lingkup ekonomi, tetapi juga memperkokoh kohesi sosial, rasa kepemilikan, dan ketahanan budaya lokal.
Di balik kesederhanaannya, Nenengisme juga memperlihatkan pentingnya kepemimpinan berbasis keteladanan. Tanpa jabatan formal atau gelar akademik tinggi, sosok seperti Neneng mampu menjadi penggerak komunitas karena ketulusan dan konsistensinya dalam bertindak. Ini membuktikan bahwa dalam masyarakat perdesaan, kekuatan pengaruh lebih ditentukan oleh integritas nyata di lapangan ketimbang otoritas struktural. Model kepemimpinan semacam ini menjadi aset berharga dalam menjaga keberlanjutan gerakan sosial berbasis komunitas.
Fenomena Nenengisme menegaskan bahwa perempuan komunitas, tanpa perlu teori besar atau dukungan struktural besar, mampu membangun gerakan perubahan yang berakar kuat. Sama seperti Nia di Kutai Timur, Neneng membuktikan bahwa revolusi sosial sejati lahir dari keberanian sehari-hari untuk bertindak, berjejaring, dan mempertahankan kemandirian komunitas mereka.
Penutup
Kisah Nia Purnamasari dan fenomena Nenengisme mengajarkan bahwa perubahan besar seringkali bermula dari langkah kecil yang konsisten. Perempuan komunitas membuktikan bahwa kekuatan kolektif, solidaritas, dan kemandirian dapat mengubah wajah sosial desa tanpa perlu gembar-gembor. Dalam dunia yang sering mengejar prestasi spektakuler, perempuan-perempuan dari pinggiran ini justru menunjukkan bahwa revolusi sosial terbaik lahir dari ketekunan harian dan kepedulian terhadap sesama.
Pertanyaannya: sampai kapan kita terus menunggu perubahan dari pusat, ketika di pinggiran sudah ada yang bergerak tanpa banyak suara? Sudah saatnya kita berhenti menonton, dan mulai berpihak. Jangan hanya beri tepuk tangan untuk sosok seperti Nia atau Neneng. Beri mereka panggung, dukungan, dan keberpihakan yang nyata. Sebab kalau perubahan tak datang dari kita, maka jangan heran bila kita selamanya hanya jadi penonton dari perubahan orang lain.
Daftar Pustaka
Balitopik.com. (2025). Lagi Ramai! Apa itu Nenengisme? Balitopik Media.
Kaltimtoday.co. (2025). Mengenal Nia Purnamasari, Penggerak Ekonomi dari Desa Bukit Permata. Kaltimtoday.co.
BPS. (2024). Perempuan dalam Statistik 2024: Peran dalam Pembangunan Berkelanjutan. Badan Pusat Statistik Indonesia.