SANGATTA – Bupati Kutai Timur (Kutim), Ardiansyah Sulaiman, menyoroti salah satu faktor utama yang menghambat anak mendapatkan akta kelahiran dan berpotensi meningkatkan angka Anak Tidak Sekolah (ATS), yaitu maraknya praktik pernikahan di bawah tangan atau nikah siri.
Hal ini disampaikan saat meresmikan peluncuran Rencana Aksi Daerah (RAD) Strategi Anti Anak Tidak Sekolah (SITISEK) yang digagas Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud), di Hotel Royal Victoria, Jumat (21/11/25).
“Khusus untuk Kementerian Agama, saya kemarin juga sudah menyampaikan, mohon maaf Bapak Ibu sekalian, salah satu yang mungkin tingkat kesulitan karena banyak sekali pernikahan yang di bawah tangan. Mohon maaf nih, yang sudah beristri satu mau nambah lagi dan seterusnya, jarang Istri kedua, ketiga itu tercatat di KUA sebagai pernikahan yang sah,” ungkap Ardiansyah.
Bupati menjelaskan, pernikahan yang tidak tercatat resmi ini langsung berdampak buruk pada status administrasi kependudukan anak yang dilahirkan.
“Sehingga begitu anak lahir, maka Dukcapil tidak bisa membuat administrasi keluarga, apakah itu akta kelahiran dan sebagainya. Anaknya bin ibunya. Sebenarnya ini bisa dijadikan sebagai salah satu administrasi untuk sekolah, tapi mungkin ibunya malu karena ketahuan nikah di bawah tangan. Ada juga yang memang belum menikah tetapi nikahnya enggak jelas, anak lahir jadi korban. Tolong ini,” tegasnya.
Bupati Ardiansyah menekankan bahwa kasus pernikahan siri ini menimbulkan dilema. Meskipun secara teknis anak dapat bersekolah hanya dengan tercatat bin ibu, rasa malu dan stigma sosial membuat orang tua enggan menyekolahkan anaknya, yang pada akhirnya berkontribusi pada angka putus sekolah.
Ardiansyah meminta instansi terkait untuk mencari solusi bersama, karena masalah ini adalah tantangan sosial dan administrasi yang harus segera ditangani untuk menjamin hak pendidikan setiap anak di Kutim. (adv)











