Uluy adalah seorang Peladang sekaligus Tokoh Yang dituakan di salah satu Dusun yang terletak disebagian jalan poros Sangatta – Bontang. Amay (begitu beliau sering disapa) dan keluarganya mulai menggarap tanah dengan teknik yg dipelajari dari ayah mereka. Mereka menanam pohon kayu jenis karet yg tumbuh cepat untuk industri di kota.
Untuk pasar mereka menanam pohon buah2an dan sayuran. Dengan bubu mereka menangkap udang dan ikan yg melimpah di sungai untuk sekedar lauk bagi keluarga mereka. Hutan garapan seperti milik Amay Uluy tersebar disepanjang Taman Nasional Kutai (TNK).
Mengapa saya sebut Hutan Garapan bukan Lahan Garapan, disinilah letak yg ingin saya bahas dalam tulisan ini. Seperti kita ketahui Hutan Garapan Amay Uluy terletak persis di dalam TNK, bersama dgn ribuan masyarakat lainnya, mereka membuka kebun skala kecil dgn metode tebang dan bakar, kemudian menanam, merawat dan memanennya terus menerus dan tanaman itupun menjadi terstruktur.
Dengan memadukan teknik pribumi dan yg datang, mereka menciptakan landskap yg cukup rimbun berikut pemukiman didalamnya dengan budaya yg dinamis namun masih menyisakan tradisi yg kental.
Permasalahan besar muncul saat ditarik ke status Hutan Garapan mereka itu. SK Menhut yg dijamin UU 41 tentang Kehutanan tersebut yg menetapkan Taman Nasional itu melarang
“Perubahan Lingkungan apapun termasuk BERBURU dan Menangkap Ikan di wilayah tersebut. Saya tdk akan membahas bagaimana masalah Pembangunan Infrastruktur dgn Status TNK, kali ini saya coba fokus trhdp masalah Hutan Garapan dengan TNK.
Terlalu panjang jika ini dibahas dlm pertanyaan Whats On Your Mind? di Forum ini, tapi yg jelas menurut saya Penatagunaan Hutan atau Lingkungan yg terlalu hati2 kadang merugikan Masyarakat yg sdh turun temurun hidup didalam atau berdampingan sekitar kawasan konservasi hutan dan lingkungan. Ditambah beberapa Organisasi Lingkungan sering berasumsi bahwa semua tindakan manusia pasti merusak hutan.
Bagaimana mungkin masyarakat yg ada didalam TNK di larang bertahun tahun lamanya untuk menebang pohon, berburu, menangkap ikan (sesuai UU) tapi beberapa tahun kemudian TNK dibuka untuk Tambang Migas, Jalan Negara dan Fasilitas Negara lainnya. lambat laun nasib para penggarap Hutan di TNK memasuki episode suram dgn berhadapan terhadap Penegakan Hukum baik Pidana maupun kasus Perdata Hutan Garapan mereka tersebut.
Masalah ini harus segera diselesaikan oleh semua pihak, mungkin pikiran kita harus balik, justru karena orang2 inilah TNK ini masih ada, sekarang mereka ditekan oleh regulasi, aktivis lingkungan dan pertambangan.
Mengusir atau merelokasi mereka dari wilayah itu malah akan memperburuk keadaan hutan TNK sendiri. Jangan sampai suatu hari akan kita temui Ironi Hidup, Pengusaha memasang pancang/patok dan mengikatkan pita pada pohon di Hutan Garapan dan Pemukiman masyarakat dalam TNK yg sampai sekarang tak memiliki sertifikat lahan sambil berkata ” Bagus sekali tempat Amay, Busu’, dan Julak ini, mari kita bagi bagi dan jual, dan para pembeli dan pengusaha itu lalu menggunakan pengadilan untuk mengusir penduduk yg tak punya kepastian lahan tersebut.
Jadikan mereka sebagai Manusia yg mendapatkan keadilan dan buat mereka Beradab agar bijak terhadap kelestarian lingkungan hidup mereka..
Thanks to Amay Uluy, Alim Bahri dan Forbesnya serta seluruh masyarakat Sangatta Selatan dan Teluk Pandan…Terus berjuang, damai tapi progres..