Pengeluaran APBD, akan disesuaikan dengan penerimaan APBD. Penerimaan APBD dari Pusat berupa dana DBH (Dana Bagi Hasil), DAU (Dana ALokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus) besaranya diputuskan dengan Kepres secara detail per daerah. Biasanya bulan Oktober dan November, Kepres itu keluar. Tidak seperti era SBY, di era Jokowi, Kepres soal dana perimbangan itu, berubah-rubah drastis. Tidak stabil. Mencla – mecle, kemarin kedelai sekarang tempe, istilah bahasa kampung halaman saya. Terkhusus di Kutim, Badai defisit ini ada banyak runtututan :
Kepres 2015, alokasi Kutim sekitar 3,6T lalu bulan JUli 2016 di revisi dengan Kepres pula bahwa alokasi Kutim hanya 2 Triyunan. Ada selisih 1,5 Trilyunan. Yang paling turun adalah royalty Batubara, padahal harga acuan batubara Nov 2015 dan Juli 2016 hanya selisih 1 dollar saja.
- Tahun 2016, Pusat bukan hanya memotong alokasi Kutim, tapi juga menunggak alokasi Kutim yang sudah mereka potong itu, sehingga ada kurang salur 148 Milyaran.
- Kejadian Kepres berubah drastis ini, di kira hanya sekali, ternyata berulang lagi di tahun 2017 ini, sehingga 2017 ada perubahan alokasi berkurang 246 Milyaran.
- Musibah datang lagi, bukan Cuma Pusat memotong dan nunggak salur, Pemerintah Pusat juga menyatakan bahwa KUTIM telah lebih salur 439 Milyaran. Artinya APBD Kutim sebelum 2016, telah menggunakan APBD Kutim era sekarang sejumlah 439 Milyar. Itu bukan kesalahan Bupati era Ardiansyah atau Isran. Murni, kesalahan pusat dalam mengkalkukasi keputusanya.
- Lebih salur itu pada komunikasi antara Pemkab dan pejabat Pusat diperhitungkan dalam 3 tahun anggaran. Namun kenyataanya tidak seindah harapan. Mendadak di ujung bulan dan akhir tahun, Pusat memotong jatah salur triwulan IV tahun ini, sehingga yang seharusnya dapat transfer 340 Milyar, Kutim cuma di transfer 8,9 Milyaran saja.
Ternyata nasib itu, tidak menimpa Kutim saja, tetanga sebelah, KUKAR sekitar 1 Trilyun di akhir tahun ini kurang salurnya. Tentu “galau” nya kebijakan pusat itu berdampak banyak. Sebab banyak kebijakan yang sudah di keluarkan berbasis duit 3,6 T itu. Contohnya besaran insentif PNS, TK2D, uang makan, insentif guru Swasta, guru ngaji, dsb. Anggaran 2017 dan 2018 otomatis masih terbeban dampak defisit 1,5 T di tahun 2016.
“Saya analogikan agar lebih sederhana untuk khalayak umum. Ini seperti rumah tangga, gaji biasanya adalah 2,7 Juta. Pada akhir Desember suami dapat SK resmi dari perusahaan, bahwa gaji bulan Januari depan yaitu 3,6 juta, gaji di bayar per minggu. Di tengah jalan di bulan Januari, kantor suami mengeluarkan surat bahwa gaji bukan naik malah di turunkan hanya sisa 2 juta. Sedangkan sang istri sudah belanja berdasar perhitungan gaji 3,6 Jt. Termasuk sudah menaikan anggaran suami, lipstik istri, uang jajan anak, sekolah favorit, perbaikan perabot, dp infestasi asset, dll. Otomatis si istri membatalkan biaya pengeluaran mendadak. Namun tetap saja sudah terlanjur membelanjakan pengeluaran yang menyebabkan defisit. Pastilah kekurangan pemasukan 1,4 jt di atasi dengan cara berhutang. Bulan februari dan maret ternyata gaji malah turun 2,5 Jt. Dan itupun masih ada yang di tunggak. Maka resikonya keduabulan itu si istri hanya bisa belanja di bawah 2 juta saja krena sisanya terpaksa untuk nyicil hutang. Dan gaya hidupnya di pangkas, bukan selevel gaji 3,7 juta, bukan selevel 2,5 juta, terpaksa selevel gaji 1,8 Jt. Yang repotnya pula, saat akhir Januari, jatah mingu ke IV yang ditunggu untuk bayar sayur, pembantu, sekolah anak dll. Perusahaan suami mengeluarkan surat lagi bahwa, jatah minggu terakhir itu, tidak di bayar karena di potong dengan jatah gaji bulan Desember yang ternyata penerimaan suami melebihi gajinya. Tentu ini menyakitkan dan berdampak kepada banyak orang,”katanya.
Semua jabatan terdampak. Anggota DPRD pun terdampak, tunjanganyapun tidak dibayar. SKPD anggaranya ala kadarnya. PNS insentifnya tersendat dan ada yang hangus. Honorer/TK2D di bulan Desember gajinya juga tertunggak. Kontraktor banyak yang tidak terbayar. Dana ADD Desa tahap terkahir juga tertunggak. Tapi suka tidak suka. Badai ini harus di hadapi. Perlu kepala dingin, kesabaran, komunikasi transparan dan setara, kebersamaan, dan kekompakan semua komponen di Kutim.
Tentu anggaran 2018 dan 2019 akan semakin tertekan dan terbeban. Hemat saya harus ada penyesuaian ulang. Lebih baik focus membayar hutang dan beban, daripada melaksanakan kegiatan baru. Kalaupun masih kurang, lebih baik PEMKAB hutang ke BANK daripada hutang ke masyarakat, kontraktor dan PNS/TK2D. Menyakitkan memang, namun lebih menyakitkan bila efek defisit ini terus berlanjut dan tidak berujung ke tahun tahun selanjutnya.
“Saya yakin ISMU-KB beserta jajaranya serta stakeholder di KUTIM, sepanjang transparan, komunikatif dan kompak, akan mampu menghadapi badai akibat efek kebijakan JOKOWI ini. Efek Jokowi di Kutim ini, daerah lain yang meroket, Kutim yang kebagian asap roketnya di landasan”kata Uce. (rilis)