WARTAKUTIM.CO.ID – Hubungan antara media massa dengan pihak Kejaksaan, tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Ibarat Mahkota itu adalah media massa, sedangkan yang mengenakan mahkota ialah pihak Kejaksaan. Jika kemudian ada kesalah-pahaman dalam proses pemberitaan, yang dilihat bukanlah mahkotanya namun pemakai mahkota. Karena mahkota bertindak sebagai benda yang mempengaruhi alur pikir masyarakat, atau dengan kata lain mempengaruhi kepercayaan publik.
Sehingga salah presepsi bahasa hukum saja, akan menjadikan perkara yang semestinya dapat dikembangkan pada ranah yang lebih detail. Menjadi bias, karena munculnya berita yang menggiring subtansi suatu perkara hukum. Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Sangatta Mulyadi menyebutkan, hubungan antara pihak Media dan Kejaksaan amatlah erat. Dimana perihal tersebut menyentuh langsung dengan perkara-perkara hukum, yang terjadi dari tingkatan masyarakat sipil biasa hingga tokoh publik.
Ada saja pertentangan antara Kejaksaan dan Media Massa, hal ini seringkali berkaitan dengan bagaimana media mencoba mempengaruhi subtansi perkara yang ditangani oleh Kejaksaan. Takkala berita telah muncul terlebih dahulu, maka opini publik terbentuk dan seakan-akan itu benar. Padahal dalam prosesnya, Kejaksaan hanya bisa mengabarkan sejauh mana progres atau perkembangan perkara yang ditangani. Bukan bagaimana kemudian dalam prosedur penanganan dan pemeriksaan malah memunculkan diawal, tentang siapa salah dan siapa benar.
“Kenapa seringkali saya katakan pada media, jika hal ini jangan di ekspos terlebih dahulu. Kadang-kadang rekan media memancing terhadap subtansi perkara yang kami tangani. Itu tidak boleh! Kami tidak bisa menyampaikan subtansi suatu perkara. Apa yang dimaksud subtansi! Yakni menyebutkan pola kejahatannya begini, yang terlibat ini, tidak bisa begitu. Yang bisa adalah progres mengenai penyelidikan, beberapa yang telah dipanggil, jumlah orangnya, namun tidak bisa menyebutkan detail orang-orang yang diperiksa. Karena Kejaksaan tetap memegang asas praduga tak bersalah, jika diberikan subtansinya saat dalam pemeriksaan, jelas itu akan mendzalimi orang lain,”ungkap lelaki bertubuh tinggi ini.
Diterangkan lebih jauh oleh Kejari Mulyadi, jika asumsi yang berkembang di masyarakat tak dapat diredam oleh Kejaksaan, akibat berita yang salah kaprah terhadap tugas Kejaksaan. Mengingat bahasa penegakkan hukum antara Kejaksaan, Polres, maupun Hakim jelas sangat-sangat berbeda. Maka penyamaan presepsi mengenai tugas-tugas kedua belah pihak, akan terus dilakukan. Mengingat media massa adalah penyaji informasi kepada publik, sehingga kehati-hatian dalam penulisan berita, benar-benar diharapkan oleh pihak Kejaksaan.
“Jika kami cukup memeriksa dua saksi misalnya dengan kelengkapan alat bukti yang sudah jelas, maka tugas telah dilakukan. Bahasa kami dengan bahasa media massa atau rekan-rekan pers, jelas berbeda. Mungkin akan lebih booming ketika rekan pers memunculkan berita, Kejaksaan telah memeriksa 500 saksi, dan itu dianggap hebat oleh penikmat berita. Tetapi bagi kami, untuk pembuktian. Berapapun saksi yang diperiksa, nilainya tetap satu. Makanya kadang-kadang, ada juga yang mancing-mancing, dengan pertanyaan berapa saksi, apa keterangannya, itu yang tidak bisa kita lakukan,” jelasnya.
Namun bagaimanapun Kepala Kejaksaan Negeri Sangatta, tetap menempatkan posisi media massa sebagai rekan dan mitra dalam menjalankan tugas. “Sebagai pribadi saya tidak pernah keki dengan cara rekan-rekan wartawan, bagaimanapun mereka adalah mitra saya,” ungkapnya sembari tersenyum. (Wars)
https://strawpoll.com/embed/e2xdr1ac