Berita PilihanKaltimRagam

Membangun Kultur Pesantren dan Pendidikan Islam Tradisional di Kutim

527
×

Membangun Kultur Pesantren dan Pendidikan Islam Tradisional di Kutim

Sebarkan artikel ini

SANGATTA – Berbicara mengenai pesantren tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang perjalanan bangsa Indonesia, bahkan jauh sebelum Indonesia itu sendiri berdiri dan terbentuk. Ketika jaman kolonial dengan politik pecah belahnya, menjadikan pendidikan begitu ekslusif dan segelintir kaum pribumi (golongan priyayi, red) yang dapat menikmatinya.

Pesantren hadir mengambil peran dalam upaya pencerdasan anak-anak muda desa yang ada di Nusantara. Mengingat masa itu amat sulit mendapatkan pendidikan, dan sekaligus melawan intimidasi kuat penjajah kolonial Belanda dalam segala lini kehidupan. Walau kadang dianggap kolot oleh orang-orang jaman millenial, sepatutnya kita bersyukur bahwa dengan cara itulah kesempatan para santri (pribumi pembelajar dari kelas masyarakat terbawah, red) memperoleh pendidikan serta kekuatan survival ditengah keterbatasan, dan terbukti terus bertahan hingga kini.

Perkembangan pesantren di Pulau Jawa memang menjadi barometer utama hingga saat ini, tanpa mengesampingkan peran dari pondok-pondok pesantren diluar Jawa. Hal ini berkaitan erat dengan ikhwal dari akar perjuangan dan pembentukan pesantren pada masanya. Ambil contoh PP Sidogiri Pasuruan berdiri pada 1718, PP Buntet Cirebon pada 1750, PP Langitan Tuban yang berdiri pada 1852, PP Tebu Ireng Jombang pada 1899. Selanjutnya ada PP Lirboyo Kediri yang berdiri pada 1910, PP Gontor Ponorogo pada 1926, serta pondok-pondok pesantren lainnya yang tak bisa disebutkan satu-persatu di sini.

Fauzie Dimyati (32) warga Kutim yang merupakan lulusan pondok pesantren Tebu Ireng Jombang mengaku bahwa daerah ini merupakan salah-satu daerah yang pesat pengembangan syiar islamnya. Terbukti dengan banyaknya acara-acara syiar islam yang bahkan menghadirkan ulama-ulama beken di Indonesia.

“Alhamdulillah untuk pengembangan syiar islam di daerah ini tidak kalah dengan daerah-daerah lain, hanya tinggal bagaimana menguatkan kultur pesantren yang benar-benar mengkosentrasikan diri dalam dunia pendidikan dengan konsep lingkungan pesantrennya. Agar daerah ini mampu menjadi salah-satu daerah penghasil ulama-ulama besar,” harap Fauzie.

Perlu diketahui kekuatan pendidikan sebagai jalan membuka akal fikir dan pengetahuan umat juga dipupuk oleh organisasi Islam, seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Al-Irsyad, Nahdlatul Wathan serta organisasi-organisasi islam lainnya. Sehingga munculah pula pemikiran-pemikiran yang sama dari tokoh-tokoh agama di Kutim, untuk menempatkan peran kultur pesantren dan pendidikan islam di daerah ini agar mampu menjawab kebutuhan umat serta menjalankan syiar Islam.

Adapun Ketua Rabithah Alawiyah Kutim Habib Abdul Muthalib bin Abdurraham Alhabsyi menyebutkan, bahwa dirinya berharap agar Kutim memiliki pondok pesantren yang representatif dalam mewujudkan pembangunan kultur dan pendidikan islam yang memadai layaknya pondok-pondok pesantren di Jawa.

“Banyak anak-anak di Kutim yang belajar di pondok-pondok pesantren di Jawa, mengingat banyak ulama-ulama besar yang muncul dari pondok yang dijadikan tujuan anak-anak muda di Kutim belajar. Hal ini menjadi tantangan kita untuk dapat diwujudkan pula, sehingga kedepan bakal lahir ulama-ulama besar dari daerah ini,” jelasnya.