SANGATTA – Terkait pengalihan sholat berjam’ah maupun sholat jum’at kepada masyarakat untuk dilakukan dirumah masing-masing, memang dianjurkan ditengah-tengah adanya wabah pandemik virus corona. Menurut salah-satu ulama dan politisi di Kutim, H. Sobirin Bagus hal ini harus dilakukan, sehingga penting pula untuk menyebutkan bahasa pengalihan dan bukan bahasa pelarangan melakukan sholat berjama’ah. Kenapa begitu ? Hal ini riskan, karena niatan baik untuk menghindarkan masyarakat dari pandemik corona, bisa jadi malah dianggap bernuasa politis, terlebih tahun ini merupakan tahun politik.
“Jangan ada bahasa pelarangan melakukan sholat berjama’ah dan sholat jum’at, namun dikemas dengan bahasa mengalihkan kegiatan tersebut di rumah masing-masing. Hal ini termasuk anjuran yang saya berikan, pada saat rapat bersama dengan Ketua Harian Gugus Tugas Covid-19 dalam hal ini Pak Syafruddin Syam yang juga merupakan Ketua BPBD Kutim beberapa waktu lalu,” jelasnya.
Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kutim ini menerangkan, taruhlah ada suatu lingkungan yang dianggap sebagai zona merah karena terkonfirmasi positif corona. Maka boleh tidak melaksanakan sholat berjama’ah termasuk sholat jum’at. Tetapi orang yang positif corona, termasuk Orang Dalam Pemantauan (ODP) haram untuk mendatangi majelis jum’at karena khawatir virus itu menular pada orang lain.
Apabila ada daerah yang posisinya aman dari virus corona, maka daerah itu wajib melaksanakan sholat berjama’ah dan sholat jum’at seperti biasa. Hal ini menurut Sobirin Bagus dilihat dari tinjauan Ushul Fiqh (ilmu hukum dalam islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori, dari sumber-sumber terperinci untuk mengahasilkan hukum islam, red). Hanya saja karena virus ini konon tidak terdeteksi, jadi semisal Masjid Istiqlal atau Islamic Centre Samarinda yang sholat berjama’ah kan dari berbagaoi penjuru wilayah dan tidak diketahui siapa-siapa orangnya sangking banyaknya. Maka jika itu ditutup dirinya sangat-sangat setuju.
“Namun sebaliknya jika posisi masjid yang posisinya di gang-gang atau di daerah pedalaman dan pesisir yang sudah diketahui masyarakat sekitar, siapa-siapa saja orang sering sholat berjamaah disana dan tidak keluar kota dll. Maka seyogyanya tetap melaksanakan sholat jum’at,” ungkap anggota DPRD Kutim ini.
Mengacu pada ushul fiqh yakni menolak kerusakan itu lebih didahulukan daripada menarik kebaikan, artinya sholat berjama’ah itu baik, tetapi apabilah dengan berjama’ah menimbulkan keburukan karena adanya virus corona. Bahwa menolak penyakit itu lebih diutamkan daripada sholat berjama’ah. Lalu kedua kepentingan orang banyak harus lebih diutamakan daripada kepentingan pribadi atau golongan. Yang mana ini juga kaedah ushul fiqh juga.
“Atau mengacu pada Surah Al-Hadid ayat 22, Ma asaba mim musibatin fil-ardi wa la fi anfusikum illa fi kitabim ming qabli an nabra “aha, inna zalika ‘alallahi yasir. Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. Jadi sebelum Allah menciptakan penyakit ini, sudah ditentukan terlebih dahulu. Hanya saja sebagai orang Islam yang masuk kategori Ahlus Sunnah wal Jama’ah, kita wajib berusaha, kita wajib berikhtiar untuk menghindar,” jelasnya.
Contoh lainnya yang diungkapkan oleh Sobirin Bagus, ialah perihal sahabar Rasulullah yakni Umar Bin Khattab hendak memasuki Damaskus – Syria ternyata ada berita bahwa daerah tersebut mengalami suatu wabah penyakit. Maka sahabat Umar kembali ke Madinah sekalipuin beliau adalah Amirul Mukminin, lalu ada sahabat yang berkata “Wahai Umar bukankah semua itu adalah takdir Allah,” ungkap sahabat lain. Lantas dijawab Umar, betul itu adalah takdir Allah. Saya berpindah dari takdir satu ke takdir yang lain, jelas Amirul Mukminin.
“Berkaca dari hal tersebut, kewajiban untuk berusaha dan kewajiban untuk berjuang. Termasuk menghindar dari wabah corona adalah sesuatu yang baik dan wajib, sekalipun segala sesuatunya ditentukan oleh Allah SWT,” tutup Sobirin Bagus. (Adv)