Berita

Isran Noor : Jadi Pemimpin Harus ‘Putus Saraf’ Dalam Berjuang

985
×

Isran Noor : Jadi Pemimpin Harus ‘Putus Saraf’ Dalam Berjuang

Sebarkan artikel ini
Gubernur Kaltim Isran Noor saat sambutan peresmian Samsat di Sangatta.

SANGATTA.  Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor yang akan mengakhiri masa tugasnya hingga 30 September akan datang, berkunjung ke Kutai Timur (Kutim) Rabu (2/8)  dalam rangka peresmian kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Unit Pelaksana Teknis Daerah UPTD Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah (PPRD) Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kalimantan Timur, serta berbagai kegiatan lainnya.

Dalam kesempatan tersebut, di depan ratusan pejabat, baik pejabat provinsi maupun Bupati Kutim dan jajarannya, Gubernur menceritakan bagaimana dirinya meningkatkan pendapatan daerah. Di mana dalam Rencana Jangka Menengah Daerah (RPJMD), target Pendapatan hanya Rp32 triliun, untuk seluruh provinsi Kaltim termasuk Kabupaten kota, namun kini sudah mencapai Rp70 triliun, termasuk anggaran Pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Di APBD Perubahan, akan lebih dari Rp70 Triliun. Ini artinya jauh dari target RPJMD. ‘Jadi kita kejar-kejaran dengan DKI, yang saat ini APBD-nya mencapai Rp80 triliun,” katanya.

Untuk mencapai pendapatan yang begitu besar, Isran mengatakan itu hanya bisa dilakukan oleh pemimpin yang “putus  Sarafnya,’ dalam berjuang. Artinya main ancam. Ternyata ancaman itu berhasil, ancamnya juga ancam-ancaman, benar. Contoh masalah karbon. Kalau tidak ancam, dunia mana mungkin mau bayar.

“Jadi pada COP (Conference of the Parties) di Inggris yang ke 26 tahun 2021, untuk membicarakan perubahan iklim, saya diberikan kesempatan untuk berbicara. Saya bilang kalau Negara-negara yang berjanji memberikan kompensasi bagi Negara yang berhasil menurunkan emisinya tidak dilaksanakan, maka sepulang saya dari Glasgow ini,  saya pulang tebang hutan kami, kami bakar. Jadi takperlu bicara panjang. Pulang ke  Indonesia, tak sampai lima bulan, datang surat ke saya, dari  World Bank terkait pembayaran itu. Walaupun sedikit, karena dari 32 juta meter kubik karbon diturunkan, baru dibayar 22 juta karbon,  masih ada sepuluh juta belum. Dengan harga 110 juta, sama dengan Rp1,6 triliun. Ini akan dibayar ke kabupaten kota, untuk dinikmati masyarakat,” katanya.

“Ini staregi, siapa juga mau bakar hutan kita. Tapi kalau tidak diancam, tidak akan dibayar, meskipun harganya hanya Rp5 USD per ton, lumayan. Karena masih ada 10 juta belum dibayar. Sisanya, kita urus lagi,  kalau berhasil, bisa dapat  Rp5 triliun lagi, juga untuk kabupaten kota. Jika seluruh Indonseia, kita taksir turunkan satu miliar ton,  dengan nilai 30miliar USD, ini sama dengan sekitar Rp500 triliun, ini cukup bangun Ibu Kota Negara,” katanya. (wal)