Kata dia, ketika petugas CRU melakukan penggiringan dari Indra Jaya ke hutan, justru gajah ini berpindah ke dua kecamatan lain tetangga yakni Jaya dan Sampoiniet, dan beberapa bulan kemudian akan kembali lagi ke lokasi awal sehingga konflik satwa tidak pernah berhenti.
“Saat ini, gajah itu masih dalam kawasan itu (Indra Jaya), jadi ketika digiring, maka pindah ke desa lain, desa tetangga, dan berlanjut ke desa-desa lain kemudian balik lagi (ke Indra Jaya),” ujarnya.
Menurut Rizal, konflik gajah liar dengan penduduk di daerah itu sudah terjadi bertahun-tahun. Sebab itu, masyarakat meminta agar empat ekor gajah itu ditangkap, lalu dipindahkan dari daerah itu agar mengurangi intensitas konflik satwa liar di Aceh Jaya.
“Gajah ini memang harus ditangkap, untuk direlokasi atau apapun hal lain, karena memang sudah sangat meresahkan masyarakat,” ujarnya.
Apalagi, kata dia, dikutip dari ANTARA, Sabtu, 19 Agustus, di kawasan ini tidak bisa dilakukan pembangunan barrier (pembatas) agar gajah liar tidak memasuki perkebunan penduduk.
Berbeda dengan daerah konflik gajah lair lain di Aceh Jaya seperti Kecamatan Darul Hikmah, kata dia, daerah tersebut memungkinkan dibangun barrier pagar kejut (power fencing) sehingga bisa sedikit tertanggulangi konflik satwa.
“Di kawasan (Indra Jaya) itu secara kontur tanahnya tidak memungkinkan membuat barrier,” ujarnya. (Wal)