WARTAKUTIM.CO.ID,SANGATTA – Penetapan tarif royalti (bagi hasil sumber daya alam), masih menimbulkan pro kontra di kalangan pengusaha batubara. Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) menganggap, tarif royalti yang dikenakan kepada perusahaan tambang dengan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sebagai kelanjutan dari PKP2B, masih terlalu besar.
Hal itu dianggap sungguh memberatkan para pengusaha tambang, apalagi ongkos produksi terus naik sesuai kondisi ekonomi dunia yang belum pulih dari dampak Corona.
PERHAPI Kutai Timur mencoba mengangkat topik royalti ini, sebagai bahan diskusi publik, yang dikemas dalam Focus Group Discussion (FGD), Sabtu (26/8/2023), di Hotel Victoria, Sangatta.
Tampil sebagai pembicara adalah Koordinator Perencanaan Penerimaan, Dirjen Minerba, Kementerian Enegi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aditya Noviaji, Ketua PERHAPI Pusat
Dalam acara FGD ini, selain Aditya, tampil sebagai pemateri adalah Ketua Umum PERHAPI Pusat Ir. Rizal Kasli, ST, IPM, MAusIMM dan Pengurus PERHAPI Pusat Dr Ir. Firly Rachmaditya Baskoro ST, Mt. Jalanya FGD dipandu oleh mantan Ketua Perhapi Kutai Timur Seno Syahrin.
Menurut Ketua PERHAPI Kutai Timur Muhammad Raizal, diskusi alot tentang royalti tambang batubara berizin IUPK, patut dicermati oleh semua stakeholders pertambangan. Sebab pada satu sisi, negara membutuhkan income yang besar dari cadangan batubara yang ada. Namun pada sisi lain, royalti yang dipatok cukup tinggi, akan memberatkan perusahaan tambang batubara.
“Di Pusat sebenarnya, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), sudah menyuarakan hal ini dari sisi perusahaan. Namun, jika mereka mentok, PERHAPI juga dimintai tolong untuk menyuarakan hal yang sama. Semoga saja, diskusi kita ini, bisa memberikan wawasan baru kepada PERHAPI, agar anggota mendapatkan pemahaman yang utuh terkait polemik royalti ini,” kata Raizal.
Pembina PERHAPI, yang juga sebagai Chief Operating Officer (COO) PT Kaltim Prima Coal (KPC) Hendro Ichwanto mengharapkan, FGD ini sebagai jembatan komunikasi antara profesional pertambangan dengan regulator, agar kontribusi dunia pertambangan tetap besar, namun industrinya juga tetap berjalan dengan baik.
“Semoga acara ini saling memberikan masukan, baik dari sisi industri pertambangan, maupun dari sisi regulator,” kata Edo, sapaan akrab Hendro Ichwanto.
Edo mengakui, bahwa industri pertambangan saat ini, tidak bisa dipungkiri memang tengah berada di dunia yang berbeda. Ia berharap, ada solusi agar pemerintah tetap mendapatkan pemasukan besar dari tambang batubara, namun perusahaan tambang dan para profesionalnya, tetap bisa berjalan dengan baik.
“Kita hidup di dunia yang berbeda. Aturannya baru, regulasinya baru. Tuntutanya juga baru, dan tantangan juga baru. Kalau kita lihat, memang (royalti, red) adalah kewajiban kita dari dunia pertambangan. Itu harus. Dan kita setuju. Namun perlu juga dilihat, bagaimana membangun keseimbangan, agar industri ini tetap hidup dan berjalan dengan baik,” kata Edo.
Edo mengharapkan, mudah-mudahan, komunikasi antara pelaku industri pertambangan dengan pemerintah, bisa berjalan dengan baik. Sehingga pembangunan Indonesia bisa maju dan industri pertambangan juga tetap hidup.
“Harapannya, pembangunan di Indonesia ini maju dan pelaku pertambangan juga bisa berjalan dengan baik,” tutup Edo.
Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No.15 tahun 2022, tentang Perlakuan Perpajakan dan atau Penerimaan Negara Bukan Pajak di Bidang Usaha Pertambangan Batu Bara.
Peraturan ini telah ditetapkan pada 11 April 2022 dan diundangkan pada tanggal yang sama. Pada PP ini, Pemerintah menetapkan lima layer untuk penentuan tarif royalti batubara untuk pemegang IUPK. Layer ini berdasarkan Harga Batubara Acuan (HBA), sebagai berikut:
IUPK dari PKP2B Generasi 1:
HBA kurang dari US$ 70 per ton, tarif royalti 14%.
HBA antara US$ 70 – US$ 80 per ton, tarif royalti 17%.
HBA antara US$ 80 – US$ 90 per ton, tarif royalti 23%.
HBA antara US$ 90 – US$ 100 per ton, tarif royalti 25%.
HBA lebih dari US$ 100 per ton, tarif royalti 28%.
IUPK dari PKP2B Generasi 1 Plus:
HBA kurang dari US$ 70 per ton, tarif royalti 20%.
HBA antara US$ 70 – US$ 80 per ton, tarif royalti 21%.
HBA antara US$ 80 – US$ 90 per ton, tarif royalti 22%.
HBA antara US$ 90 – US$ 100 per ton, tarif royalti 24%.
HBA lebih dari US$ 100 per ton, tarif royalti 27%.
Pemerintah berdalil, tarif berjenjang sampai lima layer tersebut bertujuan untuk menjaga stabilitas keekonomian kegiatan pertambangan. Tujuanya agar pada saat harga batubara tinggi, negara mendapatkan peningkatan penerimaan. Namun, pada saat harga rendah, perusahaan tambang tidak terbebani tarif royalti yang tinggi.(*)