Dalam era ketidakpastian ekonomi global, di mana krisis dapat muncul dengan cepat dan mengguncang stabilitas pasar, peran instrumen keuangan syariah semakin mendapat sorotan sebagai alternatif yang dapat memberikan ketahanan dan stabilitas dalam menghadapi tantangan ekonomi. Dengan prinsip-prinsip yang berfokus pada keadilan, transparansi, dan keberlanjutan, keuangan syariah menjanjikan landasan yang kokoh untuk melawan gejolak pasar yang sering terjadi selama krisis. Berbeda dengan sistem keuangan konvensional, yang sering terpengaruh oleh praktik-praktik spekulatif dan tidak etis, keuangan syariah menawarkan pendekatan yang lebih berkelanjutan dan beretika.
Ekonomi mengalami krisis pada era 1990-an atau lebih tepatnya pada tahun 1998 yang terjadi di Indonesia, menjadikan perkonomian hancur dan tidak luput juga bank-bank terutama bank konvensional, hanya satu bank dari bank syariah yang dapat bertahan dari masa itu yaitu bank Muamalat Indonesia. Beberapa bank BUMN yang terdampak oleh krisis 1998 ini termotivasi untuk menerapkan prinsip syariah dengan melakukan penggabungan sistem kerja dengan melahirkan Bank Mandiri Syariah. Kesuksesan Bank Mandiri Syariah menjadi tolak ukur dan motivasi lahirnya bank-bank syariah lainnya di Indonesia .Krisis selanjutnya datang pada tahun 2008 yang datang dari Amerika dan berkelanjutan kepada negara-negara sekutunya. Semua negara-negara yang terkena imbas ini berbondong-bondong melakukan segala upaya agar ekonomi negaranya tidak semakin terpuruk.
Adapun beberapa aspek yang menonjol dalam peran keuangan instrument syariah dalam menghadapi krisis ekonomi antara lain adalah :
1. Stabilitas Berbasis Prinsip
Instrumen keuangan syariah didasarkan pada prinsip-prinsip Islam yang melarang riba (bunga) dan transaksi spekulatif. Hal ini menciptakan pondasi yang lebih stabil dan terhindar dari resiko yang terkait dengan praktik-praktik yang dilarang oleh syariah.
2. Fokus pada Aktivitas Riil
Investasi dalam keuangan syariah cenderung lebih terfokus pada aset riil dan bisnis yang produktif. Dengan demikian, instrumen-instrumen ini membantu menggerakkan ekonomi nyata dan meminimalkan eksposur terhadap aset-aset yang nilainya cenderung bersifat spekulatif.
3. Resiliensi terhadap Gejolak Pasar:
Karena prinsip-prinsip yang mendasarinya, keuangan syariah cenderung lebih tahan terhadap gejolak pasar yang sering terjadi selama krisis ekonomi. Penghindaran terhadap praktik riba dan spekulasi mengurangi volatilitas dan memberikan stabilitas jangka panjang.
4. Pengelolaan Risiko yang Berkelanjutan:
Sistem keuangan syariah mendorong pengelolaan risiko yang berkelanjutan dengan mempromosikan prinsip kehati-hatian, diversifikasi portofolio, dan transparansi yang tinggi. Prinsip kehati-hatian memastikan bahwa risiko diidentifikasi dan dikelola secara proaktif untuk menghindari kegagalan sistemik. Diversifikasi portofolio memungkinkan untuk penyebaran risiko yang lebih luas, sehingga jika satu aset atau sektor terkena dampak krisis, dampaknya tidak terlalu merusak secara keseluruhan. Transparansi yang tinggi dalam instrumen keuangan syariah juga membantu membangun kepercayaan antara pemangku kepentingan dan memperkuat ketahanan sistem keuangan.
5. Inklusi Keuangan yang Meningkat:
Keuangan syariah memperkuat inklusi keuangan dengan memperluas akses kepada sektor-sektor masyarakat yang sebelumnya terpinggirkan dari sistem keuangan formal. Melalui prinsip keadilan dan pembagian risiko, keuangan syariah menawarkan solusi keuangan yang lebih mudah diakses bagi mereka yang sebelumnya diabaikan oleh sistem konvensional. Ini termasuk pengembangan produk dan layanan keuangan mikro untuk pedagang kecil, petani, dan pelaku usaha kecil menengah (UKM), serta upaya untuk memperluas akses perbankan bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil atau berpenghasilan rendah.
6. Kemitraan yang Berkelanjutan:
Prinsip kemitraan (mudharabah) dan pembagian risiko (musharakah) dalam keuangan syariah mempromosikan hubungan yang lebih berkelanjutan antara penyedia modal dan pelaku usaha. Dalam kemitraan mudharabah, penyedia modal (shahibul maal) dan pelaku usaha (mudharib) bekerja sama untuk menghasilkan keuntungan, dengan pembagian keuntungan yang disepakati sebelumnya. Dalam musharakah, kedua pihak berbagi modal, risiko, dan keuntungan sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Prinsip-prinsip ini menciptakan insentif bagi para pemangku kepentingan untuk berinvestasi jangka panjang dan berkomitmen pada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, karena keberhasilan mereka saling terkait dan saling mendukung.
Krisis ekonomi akan berefek kepada segala penjuru dan industri perbankan tidak akan luput juga, menariknya perbankan syariah dapat meminimalisir bahkan terhindar dari efek Negative Spead yang mana bank diharuskan untuk tetap membayar beban bunga kepada debitur (cost of fund) dengan angka yang sangat tinggi sedangkan suku bunga kepada nasabah tidak dapat disesuaikan atau dapat dikatakan simpanan lebih tinggi dari pada bunga kredit yang dapat menimbulkan kerugian bagi bank dan akan mempertinggi angka gagal bayar dari kreditur. Karena perbankan syariah menggunakan sistem bagi hasil (profit sharing) keuntungan dan kerugian bisnis akan ditanggung bersama oleh bank dan debitur atau bank dengan kreditur dengan proposional sesuai dengan kontak yang disepakati bersama. Pihak bank juga tidak akan terkena beban bunga dari uang yang dimiliki oleh debitur sehingga bank tidak terdampak oleh krisis yang melanda perekonomian akibat dari lemahnya daya beli masyarakat dan gagal bayar dari kreditur. Perbankan syariah berbasis sektor riil tansaksi investasi didasarkan pada aset yang jelas dan riil. Tahun 2008 marak penggunaan produk Derivatif yang tidak jelas back-up assetnya yang menjadi masalah utama terjadinya krisis global pada saat itu. Kebijakan likuiditas dan ketentuan saldo minimum bank (depository correspondent) ditetapkan otoritas moneter untuk menjaga posisi likuiditas bank agar tetap sehat untuk dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan nasabah. (RILIS)
Penulis : Nur aziza