OPINI

Saat Dua Kepala Memecah, Wartawan yang Tersakiti

423
×

Saat Dua Kepala Memecah, Wartawan yang Tersakiti

Sebarkan artikel ini

Setelah melewati masa-masa kelam akibat dualisme kepemimpinan, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) akhirnya menemukan jalan menuju persatuan. Kabar bahwa dua kubu, yakni PWI hasil Kongres Bandung yang dipimpin Hendry Ch Bangun, dan PWI hasil Kongres Luar Biasa (KLB) di bawah Zulmansyah Sekedang, sepakat menggelar Kongres Luar Biasa (KLB) yang rencananya akan di laksanakan pada 29-30 Agustus 2025, menjadi angin segar yang disambut luas oleh anggota PWI di seluruh Indonesia.

Selama setahun lebih, organisasi PWI berjalan pincang. Perpecahan di tingkat pusat bukan hanya memalukan, tapi juga menyakiti ratusan, bahkan ribuan wartawan yang berharap pada PWI sebagai rumah besar, tempat bernaung, tempat mencari perlindungan, tempat belajar, dan tempat memperjuangkan eksistensi profesi jurnalistik yang bermartabat.

Akibat dualisme ini, Dewan Pers secara tegas membekukan sementara status kelembagaan PWI. Imbasnya sangat nyata. Sejumlah agenda penting organisasi di daerah menjadi tersendat.

Pengurus daerah dan pengurus cabang tidak bisa menyelenggarakan kegiatan resmi, termasuk Ujian Kompetensi Wartawan (UKW) yang menjadi kebutuhan pokok bagi para wartawan profesional.

Bagaimana mungkin sebuah organisasi wartawan yang lahir dengan semangat perjuangan malah terjerat dalam ego kepemimpinan? Dua ketua umum, dua klaim legitimasi, tapi justru satu yang dikorbankan, wartawan-wartawan di bawah yang bekerja keras setiap hari menghadapi dinamika lapangan, yang terus mencari legitimasi profesi mereka lewat sertifikasi, dan yang berharap dilindungi ketika berhadapan dengan kekuasaan.

PWI adalah organisasi yang dibangun dari semangat persatuan, komunikasi, dan perlindungan terhadap profesi wartawan. Ketika pemimpinnya gagal memberi contoh kedewasaan dalam berorganisasi, maka bukan hanya kredibilitas organisasi yang rusak, tapi juga kepercayaan publik yang luntur.

Kita tentu tidak lupa bahwa keberadaan PWI bukan sekadar formalitas, melainkan bagian dari struktur yang diakui oleh Dewan Pers, yang menentukan kelayakan dan legalitas seorang jurnalis dalam menjalankan tugas jurnalistiknya.

Kini, ketika jalan rekonsiliasi dibuka, harapan kembali tumbuh. Langkah menuju kongres bersama bukan hanya menjadi titik temu dua kekuatan yang sebelumnya saling menegasikan, tetapi juga momentum untuk introspeksi, bahwa kepemimpinan tanpa kedewasaan hanya akan memecah belah dan memperlemah organisasi.

Persatuan ini bukan sekadar simbol bersatunya dua figur di pucuk kepemimpinan. Lebih dari itu, ini adalah tanggungjawab moral kepada ribuan anggota yang menaruh kepercayaan dan menggantungkan nasib organisasional mereka pada PWI.

Persatuan ini harus dibarengi dengan perombakan paradigma kepemimpinan, dari yang mementingkan gengsi menjadi yang mengutamakan pelayanan.

Kini saatnya PWI bangkit dan bergerak dalam satu langkah. Dengan hati yang utuh, organisasi ini harus kembali menjadi rumah yang aman, nyaman, dan bermartabat bagi setiap insan pers Indonesia. Dan semoga, perpecahan kemarin menjadi pelajaran paling mahal tentang pentingnya menempatkan kepentingan organisasi di atas kepentingan pribadi.

Penulis: Imran Amir
Opini | Kaesang Pangarep, PSI, dan Skenario Politik Tersembunyi Jokowi
Berita Pilihan

Terpilihnya Kaesang Pangarep putra bungsu Presiden ke tujuh Republik Indonesia Joko Widodo sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia PSI bukan hanya berita politik biasa Di balik pencapaian itu publik melihat lebih dari sekadar anak muda yang meniti karier di jalur politik Ini adalah isyarat kuat bahwa keluarga Jokowi masih punya rencana panjang di panggung kekuasaan nasional bahkan setelah sang presiden menyelesaikan masa jabatannya