OPINI – Pokok-pokok pikiran (Pokir) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kerap menjadi perbincangan publik. Tidak sedikit masyarakat yang menyoroti Pokir secara kritis—bahkan memandangnya negatif. Ada anggapan bahwa Pokir hanya menjadi “titipan” kepentingan politik, bahkan membebani keuangan daerah. Beberapa elemen masyarakat juga menilai pelaksanaannya kurang transparan dan tidak tepat sasaran.
Namun di balik berbagai kritik tersebut, tidak dapat dipungkiri bahwa Pokir sesungguhnya memiliki potensi besar untuk mendorong pembangunan dan pertumbuhan ekonomi daerah—jika dikelola dengan baik dan berpihak pada kepentingan masyarakat luas.
Pokir adalah hasil dari proses reses, di mana anggota DPRD menyerap aspirasi warga secara langsung. Dari sinilah Pokir mendapatkan legitimasinya sebagai bentuk representasi rakyat.
Pokok-pokok Pikiran (Pokir) DPRD merupakan instrumen penting dalam sistem perencanaan pembangunan daerah. Pokir lahir dari hasil reses anggota dewan yang menyerap aspirasi langsung dari masyarakat di daerah pemilihannya. Oleh karena itu, keberadaan Pokir tidak sekadar formalitas, melainkan menjadi salah satu fondasi strategis untuk menyusun kebijakan pembangunan yang tepat sasaran, termasuk dalam upaya menaikkan pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi suatu daerah tidak hanya ditentukan oleh kebijakan pemerintah eksekutif, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh keberpihakan dan keberanian legislatif dalam menyuarakan kebutuhan riil masyarakat melalui Pokir. Di sinilah peran anggota DPRD sangat penting, karena mereka adalah jembatan antara masyarakat dan kebijakan.
Melalui Pokir, DPRD dapat mengusulkan program-program pemberdayaan ekonomi kerakyatan, seperti pelatihan kewirausahaan, peningkatan kapasitas UMKM, bantuan peralatan kerja, hingga penguatan akses pasar lokal dan digital. Di sektor pertanian, misalnya, Pokir bisa diarahkan untuk mengusulkan infrastruktur irigasi, distribusi pupuk yang adil, hingga akses modal bagi petani. Semua ini berkontribusi langsung terhadap peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat.
Selain itu, Pokir yang diarahkan pada pembangunan infrastruktur strategis—seperti jalan usaha tani, pasar tradisional, akses transportasi pedesaan, dan jaringan telekomunikasi—akan mendorong efisiensi distribusi barang dan jasa serta membuka peluang ekonomi baru, terutama di wilayah yang selama ini tertinggal secara ekonomi.
Penting juga bagi Pokir untuk mendorong kolaborasi dengan dunia usaha dan lembaga pendidikan dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang inovatif dan berkelanjutan. Misalnya, mengusulkan program inkubasi bisnis untuk pemuda, atau kerja sama pelatihan kerja berbasis kebutuhan pasar.
Namun demikian, agar Pokir benar-benar berdampak pada pertumbuhan ekonomi, diperlukan sinergi yang kuat antara legislatif dan eksekutif. Pokir tidak boleh dipandang sebagai beban anggaran, melainkan sebagai amanat rakyat yang harus diwujudkan secara profesional dan akuntabel. Proses perencanaan dan penganggaran harus menjadikan Pokir sebagai referensi utama dalam menyusun program pembangunan.
Dengan pendekatan yang tepat, Pokok-Pokok Pikiran Dewan dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal yang merata dan berkeadilan. Inilah bentuk nyata fungsi representasi dan pengawasan DPRD dalam menjawab harapan masyarakat dan membangun daerah yang mandiri secara ekonomi.
Sebagai penulis, saya meyakini bahwa Pokir adalah alat perjuangan rakyat, bukan beban birokrasi—selama dijalankan dengan integritas dan akuntabilitas tinggi. Apresiasi dan kritik terhadap Pokir adalah hal wajar dalam demokrasi, tetapi sebaiknya tidak dilakukan dengan prasangka dan emosi berlebihan.
Perdebatan tentang Pokir seharusnya menjadi ruang dialog konstruktif, bukan ruang saling tuding. Mari kita pakai akal sehat, data, dan niat baik dalam menilai—bukan asumsi dan sentimen pribadi. Karena pada akhirnya, setiap kebijakan publik, termasuk Pokir, layak dinilai dari dampaknya terhadap masyarakat.
[Muh. Raihan Ali]