Sengketa wilayah Kampung Sidrap, Dusun di Kecamatan Teluk Pandan, Kutai Timur, kembali menemui jalan buntu. Persoalan yang telah berlarut-larut ini kini mendapat perhatian Gubernur Kalimantan Timur, Rudi Mas’ud. Namun, perhatian saja tidak cukup—yang dibutuhkan adalah langkah konkret dan keberanian politik untuk menuntaskannya.
Secara administratif, Sidrap adalah bagian dari Kabupaten Kutai Timur. Namun, Kota Bontang bersikeras mengklaim wilayah ini. Alasannya, mayoritas warga Sidrap ber-KTP Bontang, sehingga Pemkot Bontang merasa berhak mengajukan gugatan—pertama ke Mahkamah Agung yang ditolak pada Juli 2023, dan kini ke Mahkamah Konstitusi, dengan menggugat UU No. 47 Tahun 1999 demi memasukkan Sidrap ke peta wilayah Bontang.
Pertanyaannya: mengapa Bontang begitu ngotot? Apakah hanya soal administrasi kependudukan, atau ada kepentingan strategis lain di baliknya? Bagi warga Kutai Timur, Sidrap bukan sekadar batas garis di peta. Ini adalah soal marwah dan kedaulatan wilayah yang dijamin hukum dan sejarah.
Justru di sinilah introspeksi diperlukan. Pemkab Kutai Timur tidak cukup hanya membela di meja hukum. Sidrap butuh perhatian nyata, pendidikan yang layak, layanan kesehatan yang memadai, infrastruktur yang memadai, dan pembangunan berkelanjutan. Jika Sidrap merasa dianaktirikan, maka pintu bagi pihak lain untuk masuk akan selalu terbuka.
Hubungan antar-pemerintah daerah semestinya dibangun di atas penghormatan dan kerja sama, bukan saling mengklaim dan mengadu ego. Di titik ini, peran Gubernur Kaltim sangat krusial sebagai penengah yang netral dan adil, memastikan tidak ada daerah yang dirugikan, terlebih Kutai Timur sebagai pemilik wilayah yang sah.
Sidrap adalah bagian dari Kutai Timur secara hukum dan sejarah. Mempertahankannya berarti menjaga harga diri dan keutuhan daerah. Membiarkan Sidrap lepas sama artinya dengan menggadaikan marwah Kutai Timur. Dan itu, bagi kita semua, adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar.