Sangatta – Perubahan tata ruang Kutai Timur (Kutim) memerlukan kecepatan dan ketepatan, karena jika terlambat akan berdampak dalam pembangunan daerah. Pemkab Kutim sangat berharap proses perubahan RTRW bisa digarap secepat mungkin agar bisa menjadi acuan dalam proses pembangunan.
Dalam jumpa pers dengan kalangan wartawan,Kamis (28/11) Kabid Fisik Bappeda, Sumarjana, disebutkan dalam perubahan kawasan TNK tidak ada untuk kepentingan bisnis kecualinya hanya untuk pengembangan kota, pemukiman dan pertanian berbasis konservasi. “Yang disetujui sebanyak tujuh ribu hektar tidak berdampak apa-apa, justru akan berdampak konflik sosial,” ujar Sumarjana.
Ia menambahkan, dengan luas lahan yang diharapkan 17 ribu Ha jutsru akan lebih memberikan jaminan keamanan TNK dari perambahan. “Jika ada Perda, tentu keamanan TNK lebih terjamin karena bakalan tidak ada penerbitan ijin untuk kegiatan bisnis seperti pertambangan atau perkebunan,” timpal Irwan dari Dinas Kehutanan Kutim.
Diungkapkan, sudah ada kesepakatan perubahan peruntukan kawasan hutan di TNK melalui RTRW Provinsi Kaltim pada 14 November 2012 di Dirjen Planologi Kehutanan. Pemkab Kutim, diakui telah mengajukan usulan enclave TNK dari 24.607 Ha dan yang dapat diakomodir menjadi APL seluas 17.355 Ha, belakangan disetujui hanya 7.800 Ha.
“Delinasasi tidak bertentangan dengan prinsip keterwakilan ekosistem mulai pantai sampai penggunungan serta fungsi konservasi TNK masih dipertahankan,” beber Irwan salah satu anggota Pokja Perencanaan BKPRD Kutim.
Lebih jauh, Irwan dan Sumarjana serta Hendra sama-sama menegaskan pembahasan RTRW sangat lama padahal kebutuhan sangat mendesak karena UU No 26 Tahun 2007 yang mengharuskan RTRW harus diselesaikan dalam waktu tiga tahun. ‘Artinya RTRW Kutim sudah beres tahun dua ribu sepuluh lalu,tapi kenyataanya sangat panjang,” beber Irwan.(WK-01)