Februari 2016, Kab. Kutim resmi memiliki nahkoda baru yaitu Ismunandar sebagai Bupati dan Kasmidi Bulang sebagai wakil Bupati. Hingga menjelang 2 tahun kepemimpinan ISMU-KB. Keduanya saling sinergi, mengisi dan melengkapi.
Soal kinerja dan intensitas kerja. Secara kasat mata, Bupati kini berusaha merealisasikan janji kampanye untuk FOKUS menjalankan tugas. Saya sering melihat bahwa waktunya full untuk tugas. Bila siang, puluhan pejabat, PNS dan masyarakat silih berganti menghadap beliau. Dengan berbagai urusan. Sekitar 50 an orang menghadap tiap hari. Kebanyakan adalah soal duka lara. Saya secara pribadi sesekali juga, menerima limpahan perihal duka lara, terutama sejak Pemerintah Pusat memerintahkan untuk mencabut program Jamkesda.
Bila tidak ada acara tugas di luar kantor. Hampir pasti jam pulang beliau sekitar jam 05.00 sore, sering kali habis Magrib atau Isya baru pulang. Ketika di rumah Jabatanpun, sering ada tamu yang menemui beliau, terutama adalah orang / tokoh dekat, puluhan juga, bahkan seringkali hingga dini hari jam 1 atau jam 2 pagi. Kunjungan kerja, mayoritas adalah ke dalam daerah, pelosok-pelosok. Terutama menghadiri kegiatan yang wajib ada misal Musrenbang. Serta kegiatan yang anggaranya sudah dialokasikan oleh Pusat / Provinsi missal GERMAS dan Kampung Keluarga Berencana, dll. Dengan pergi ke pelosok tersebutlah, beliau mengetahui kondisi nyata wilayahnya. Sehingga mendasari kebijakan pembangunan. Saat pembahasan anggaran Multiyears, proyek yang di ajukan pemerintah adalah infrastruktur yang sangat penting dan vital buat rakyat umum. Yaitu puluhan ruas jalan antar kecamatan, jembatan-jembatan, bendungan, kanal, dan puskesmas, dll. Gedung hanya sedikit, untuk sarana PORPROV, itupun dananya dari Provinsi.
Kinerja Bupati juga di imbangi pejabat teras SKPD. Sekarang mereka, lebih disiplin dari sebelumnya. Kalau dulu rumornya, tentu tidak semua, datang Senin Sore, Kamis sore sudah hilang. Sekarang Senin pagi sudah hadir untuk coffe morning. Secara fisik, dengan pola kerja begitu, saya yakin tidak ada seorang pun di Kutim baik anggota DPRD, pejabat SKPD, PNS, honorer di Kutim yang ritme kerjanya seberat Bupati Kutim sekarang, bahkan bila di bandingkan dengan pejabat di perusahaan swastapun. Dengan ritme intensitas Bupati yang sangat tinggi itupun kenyataan masih banyak problem rakyat dan pembangunan di Kutim yang masih belum terjawab dan belum bisa di tuntaskan.
Penyebab utamanya, Pertama Anggaran minim di bandingkan kebutuhan. Anggaran minim, karena kebutuhan usulan semua warga, RT, desa, SKPD yang diusulkan tiap Musrenbang bila di total sekitar 20 Trilyunan. Sedangkan dana yang tersedia untuk pembangunan fisik sekitar 600 Milyaran (dalam keadaan normal). Secara matematis (teori), dari 40 usulan pembangunan hanya 1 yang tersedia anggaranya. Jadi tidak perlu heran, bila banyak warga dan pejabat desa/kecamatan/SKPD yang frustasi usulanya tidak semua masuk APBD.
Kedua, badai anggaran defisit yang menimpa Kaltim khususnya, dan mayoritas daerah daerah di Indonesia terutama di luar Jawa. Terutama di Kaltimra, terasa dan terdengar betul dampaknya. Defisit macam sekarang ini tidak pernah terjadi 6 tahun sebelumnya. Di saat Pak Ismu mejabat Sekda. Sekda adalah ketua TAPD. Pejabat sentral dalam perumusan anggaran. Kenapa pejabat yang mengelola anggaran sama, bahkan naik pangkat jadi Bupati, tetapi hasilnya anggaranya berbeda (malah timbul defisit)? Karena faktor utama defisit adalah faktor eksternal yaitu ketidakstabilan kebijakan pemerintah pusat.
Di Pusat sejak Akhir 2014, telah terjadi perubahan pemimpin dari SBY ke Jokowi. APBN 2015, walau Presidennya Jokowi, secara teknis APBN masih di desain oleh SBY di tahun sebelumnya, Baru mulai tahun 2016 lah, APBN murni di desain era pemerintahan Presiden Jokowi. APBN 2016 di putuskan di akhir 2015. Apa hubunganya dengan APBD Kutim? Karena sekitar 95% penerimaan APBD adalah dari pusat dan provinsi. PAD di era ISMU-KB walau sudah naik hampir 2x lipat dari periode sebelumnya, angkanya masih kecil hanya sekitar 4% an dari total APBD. Ini ciri khas daerah baru yang masih minim infrastuktur dan penduduk.
Konstitusi kita sekarang masih mengatur bahwa kewenangan KEUANGAN ada di Pusat. Artinya yang bisa menarik pajak (PPN/Pph), cukai, royalty, kehutanan, minerba, migas, dll hanya PUSAT. Bukan Cuma menarik duit, tapi membagikan sebagain kecil ke Pemprov/Pemkab/Pemkot adalah pusat. Sebagian kecil, contohnya dari DBH-Pajak, kabupaten hanya dapat sekitar 7,7 %, Provinsi sekitar 11 % dan Pusat 80% yang sebagian dananya untuk DAU&DAK.