WARTAKUTIM.CO.ID – Hingga kini banyak masyarakat melihat Dirjen Bea dan Cukai, bertugas untuk melakukan penerimaan pajak-pajak tidak langsung, terutama karena peran ini berlangsung kuat di era tahun 1980-an. Namun seiring dengan makin berkembangnya bangsa Indonesia, dengan ditopang industri dan teknologi. Maka fungsi Revenue Collector atau istilahnya penghimpun keuangan negara tidak lagi dijadikan dasar utama untuk mencari uang negara dengan pengenaan biaya pada suatu produk atau barang.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Bea dan Cukai Kalimantan Bagian Timur Agus Sudarmadi mengungkapkan, jika kini tugas Dirjen Bea dan Cukai ada Empat. Yakni sebagai Fasilitator Perdagangan, Industrial Assistance, Revenue Collector, dan Community Protector.
“Dari Rp 2200 triliun anggaran pemerintah Republik Indonesia pada masa itu, kita mampu menyumbang dari bea dan cukai sebesar Rp 250 triliun pada negara pertahun. Yang mana selebihnya ditunjang oleh pajak, profit-profit BUMN, hingga pinjaman-pinjaman. Dimana proporsi dari revenue collector sudah tidak besar lagi, justru kini proporsi kami adalah industrial assistance yakni bagaimana membantu tumbuh kembangnya industri,” jelas Kakanwil Dirjen Bea dan Cukai Kalbatim.
Sehingga kenaikkan tipologi-tipologi kantor, termasuk tipologi kantor KPPBC Tipe Madya Pabean C Sangatta. Adalah tidak terbatas pada unsur reveneu collector, sehingga ketika ada pandangan masyarakat yang mempertanyakan, mengapa kantor ini menjadi besar secara bangunan hingga kualitas. “Ini dikarenakan suatu daerah yang walaupun misalnya berada di daerah dalam, bahkan tidak ada pelabuhan internasional yang jalan. Namun ternyata memiliki potensi pengembangan yang tinggi. Maka jawaban inilah yang perlu disosialisasikan pada masyarakat luas,” terangnya.
Agus Sudarmadi menyebutkan jika Dirjen-Dirjen di Kementerian Keuangan RI berkumpul belum lama ini, dengan seluruh pihak pengelola keuangan daerah di wilayah Kaltimra. Untuk memberikan pembekalan pengelolaan keuangan pada seluruh pihak terkait, di kabupaten/kota hingga provinsi.
Mengingat potensi-potensi daerah, dimana ada proyek-proyek besar yang dalam tahap penyelesaian. Jika proyek besar itu jadi, seperti KEK Maloy, Pelabuhan Kariangau, Tol Balikpapan-Samarinda, termasuk yang sudah mulai jalan perlahan yakni Bandara APT Pranoto Samarinda. Jelas hal ini berdampak nyata dikemudian hari pada perekonomian Kaltim.
“Pola-pola seperti ini membuat titik tekan pemerintah, termasuk pihak bea dan cukai kemudian bergeser. Kita memberikan porsi penerimaan pada Dirjen Pajak. Kita lebih pada industrial asisstance, dalam memfasilitasi sektor perdagangan. Di sisi lain begitu ekonomi tumbuh dan berkembang, ATHG (Ancaman, Tantangan, Hambatan, dan Gangguan, red) muncul. Maka disinilah fungsi bea dan cukai berkembang menjadi community protector atau melindungi komunitas. Yang mana masuk pula fungsi edukasi, fungsi sosialisasi, serta fungsi penegakkan hukum,” jelasnya.
Pada sektor penegakkan hukum, tentu banyak sekali aktifitas yang ditangani Bea dan Cukai. Mulai dari aksi pencegahan terorisme, penanganan TKI dan TKW diluar negeri, pengelolaan pemberangkatan dan pemulangan haji, hingga terkait penanganan psikotropika dan narkotika. Untuk yang terakhir bahkan, Dewan Pertimbangan Presiden mendatangi Dirjen Bea dan Cukai terkait perintah Presiden Joko Widodo untuk melihat potensi ancaman berkembangnya peredaran narkotika, terorisme, serta alat-alat yang berhubungan dengan marko terorisme di Indonesia.
“Berbicara Kaltim, potensi kerawanan narkotika pada tahun 2017 lalu ada dalam urutan 3 besar di Indonesia, setelah Jakarta dan Bali. Walaupun saat ini kemudian turun ke peringkat empat. Tetapi patut diingat, justru operasi-operasi penyeludupan narkotika masuk dalam jumlah besar. Jika dulu pada masa saya menjabat Kepala Intelejen dan Operasi di bandara Soekarno-Hatta. Pernah mendapatkan kasus penyeludupan heroin sebesar 10 Kg, itu rasanya sudah luar biasa. Tetapi kini yang masuk dalam besaran ton, dimana terakhir berhasil diungkap penyeludupan narkotika sebesar 1,5 ton hingga 3 ton,” ujar Agus Sudarmadi sembari menggelengkan kepala.
Dari informasi yang tersebar untuk wilayah Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) II, diperkirakan jumlah narkotika yang masuk sudah dalam hitungan ton-tonan. Dengan jumlah seperti itu, Kalimantan Timur bisa saja menjadi wilayah urutan kedua dan ketiga, dalam kasus penyebaran narkotika di Indonesia.
Untuk itulah Dirjen Bea dan Cukai lantas melakukan kerjasama dengan berbagai instansi terkait, baik Kepolisian dan TNI. Mengingat kemungkinan barang haram tersebut, masuk melalui kapal besar yang bertambat ditengah laut, lalu kemudian barang dijemput dengan menggunakan kapal-kapal kecil.
“Inilah yang membuat kita (bea dan cukai, red) bekerjasama dengan seluruh instansi mengenai bagaimana cara penanganannya lebih jauh. Kedepan KPPBC Tipe Madya Pabean C Sangatta akan memiliki kapal patroli, agar kerjasama dalam penegakkan hukum bersama pihak Kepolisian dan TNI di wilayah laut dapat makin berani dan tegas dalam mengatasi bahaya peredaran narkotika di wilayah laut Sulawesi dan Selat Makasar,” terangnya. (Wars)