Berita PilihanOPINI

Tambang Galian C di Kembalikan Ke Pusat, Sentralisasi Perizinan, Mematikan Kemandirian Daerah

304
×

Tambang Galian C di Kembalikan Ke Pusat, Sentralisasi Perizinan, Mematikan Kemandirian Daerah

Sebarkan artikel ini

Wacana pengembalian kewenangan perizinan tambang galian C ke pemerintah pusat kembali mengemuka. Rencana revisi Perpres yang disampaikan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Tri Winarno, pada 7 Agustus 2025, memicu tanda tanya besar: apakah kemandirian daerah hanya slogan tanpa makna?

Galian C—yang kini lebih tepat disebut pertambangan batuan—merupakan sumber daya vital bagi pembangunan daerah. Pasir, kerikil, batu kapur, tanah liat, dan mineral non-logam lainnya menjadi bahan baku utama berbagai proyek infrastruktur, baik swasta maupun pemerintah. Tanpa pasokan yang memadai, roda pembangunan akan tersendat.

Selama ini, kebijakan yang memindahkan izin galian C ke pusat justru melahirkan persoalan baru. Proses perizinan yang rumit, lamban, dan jauh dari jangkauan pelaku usaha daerah, mendorong maraknya tambang ilegal. Kebutuhan mendesak di lapangan tidak mampu menunggu birokrasi berlapis di Jakarta.

Meski sebagian kewenangan pernah dilimpahkan ke provinsi, campur tangan pusat tetap dominan. Kini, rencana sentralisasi penuh melalui revisi aturan berpotensi mengulang kesalahan lama. Alih-alih memperbaiki tata kelola, kebijakan ini justru mengikis ruang gerak daerah dan melemahkan otonomi yang telah diperjuangkan.

Tri Winarno sendiri mengakui, dengan jumlah evaluator yang ada, proses perizinan berisiko memakan waktu panjang. Bayangkan, jika Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) yang menjadi syarat administrasi baru disetujui setahun kemudian, bagaimana nasib pembangunan yang bergantung pada bahan baku tersebut?

Kebijakan yang terlalu terpusat bukan hanya mengekang pelaku usaha, tetapi juga berpotensi menimbulkan paradoks hukum. Proyek pemerintah daerah yang memerlukan galian C bisa terjebak dalam status abu-abu—di satu sisi legal secara kontrak, namun bahan bakunya diperoleh dari aktivitas yang tak berizin.

Pemerintah pusat seharusnya melihat perizinan galian C sebagai kesempatan memperkuat sinergi dengan daerah, bukan mengambil alih sepenuhnya. Jika kemandirian daerah terus tergerus, maka otonomi hanya tinggal nama, dan masyarakatlah yang akan membayar harga dari kebijakan yang tak membumi.