wartakutim,com || Sangatta ; Pergeseran lahan potensial untuk pertanian menjadi real estate dan industri di Pulau Jawa juga merambah di Kaltim termasuk Kutai Timur (Kutim) sehingga tak heran gagasan pencetakan sawa yang dikenal sebagai Food Estate digalakan pemerintah diragukan bisa berhasil.
Menurut mantan Sekertaris Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kutim Hormansyah, penyebab terjadinya pergeseran pemanfaatan lahan pertanian ke pertambangan karena pengaruh hasil. “Jika pertanian memerlukan waktu lama dan ketelatenan serta menghasilkan uang relatif kecil, sementara tambang mudah dan cepat serta mendatangkan uang dalam jumlah banyak,” beber Hormansyah.
Dalam percakapan, wartakutim.com , mantan Camat Sangkulirang ini mengungkapkan banyaknya tambang dan perkebunan petani banyak yang lari ke tembang atau perkebunan. “ Prinsip mereka ada uang, beras bisa dibeli daripada jadi petani, yang tidak jelas hasilnya,” bebernya.
Horman menyebutkan di Desa Selangkau Kecamatan Kaliorang yang menurutnya terdapat lahan pertanian seluas 800 hektar yang selama ini menjadi andalan sebagai penghasil padi ditambah pengarian yang baik karena diatur dengan memanfatkan bendungan.
Akibat ketiadaan tenaga kerja sebagai penggarap sawah, akhirnya sawah yang potensial menjadi padang ilalang. “Kalau mau mencetak sawah, maka tenaga kerjanya harus jelas dari mana artinya jika ada perusahan yang mau menanamkan modal untuk menggarap sawah, tenaga kerjanya harus jelas. Kalau hanya kerja sama dengan petani lokal untuk menggarap, sementara hasilnya hanya menunggu panen kelak ditinggalkan lagi,” katanya seraya menambahkan masyarakat tidak merasa bangga lagi menyandang predikat sebagai petani.
Beralihnya sejumlah petani menjadi karyawan tambang termasuk warga transmigrasi yang sebelumnya diarahkan mampu menggarap lahan pertanian yang ada, diakui Hormansyah menjadi beban tersendiri pemerintah.(WK-01)