SANGATTA – Dua terdakwa kasus dugaan korupsi dana bansos aspirasi DPRD Kutim yakni Dudi Iskandar dan Cairuddin Efendi Putra, dituntut berat oleh Jaksa Penuntut Umum Ervandy Quiliem SH.
Dalam pandangan jaksa, kedua terdakwa melanggar Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan diperbaharui dengan UU 20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Disebutkan, dalam persidangan di PN Tipikor Samarinda, perbuatan Dudi dan Cairuddin, negara mengalami dirugikan Rp 1,3 milyar. Dijelaskan, tuntutan JPU disampaikan Selasa (19/11) lalu dihadapan majelis hakim yang diketuai Casmaya SH MH.
Dalam surat tuntutannya, Jaksa Ervandy Quiliem menuntut terdakwa Dudi pidana penjara 2 tahun 6 bulan dengan denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan penjara, selain itu membayar uang pengganti Rp 1,134 milyar.
Sementara terhadap Cairuddin, selain dituntut pidana penjara 2 tahun serta denda Rp 50 juta subsidair 2 bulan, juga diharuskan membayar uang peganti Rp 245 juta. “Kedua tersangka memang wajib membayar uang pengganti terhadap dana Bansos yang ditilep,” beber Ervandy, Rabu (27/11).
Ditemui wartawan diruang kerjanya,Rabu (27/11) dijelaskan, kedua terdakwa hingga belum pernah mengembalikan kerugian negara, karenanya tuntutan hukumnya berbeda dengan terpidana Aulia Kamal Husein yang telah mengembalikan seluruh kerugian negara.
Rencananya, Senin, 2 Desember 2013, sidang kembali digelar dengan agenda penyampaian pledoi. Tersangkutnya Dudi dan Cairuddin, setelah kejaksaan melakukan penyidikan intensif terhadap dugaan penyimpangan dana Bansos Kutim.
Dari penulusuran, akhirnya Kejari Sangatta menetapkan Dudi Iskandar sebagai tersangka kasus bansos aspirasi Anggota DPRD Kutim, dari tangan tersngka ditemukan 31 proposal fiktif bernilai Rp 1,1 M.
Namun Dudi tidak terima jika hanya ia menanggung beban, sehingga ia menyebutkan ada koordinator lain yakni Cairuddin. Setelah didalami akhirnya Chairuddin ditetapkan sebagai tersangka membuat 6 proposal fiktif yang mengakibatkan kerugian negara senilai Rp 245 juta.
Modus yang dilakukan keduanya pun tak jauh berbeda dengan kasus Bansos lainnya yakni dengan mengumpulkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) warga yang kemudian dibuatkan proposal dengan nilai berkisar Rp 50 juta. Hanya saja, setelah dana dari proposal itu cair, pemilik KTP hanya diberi Rp 2 juta.(WK-02)