Berita PilihanOPINI

OBRAL PENAHANAN DIAWAL TAHUN

162
×

OBRAL PENAHANAN DIAWAL TAHUN

Sebarkan artikel ini

Perayaan tahun baru 2014 belum lama berlalu. Maklum bulan januari baru berjalan 21 hari. Namun, Kejari Sangatta sudah “tancap gas” dalam penanganan perkara korupsi.  Tak tanggung-tanggung dalam waktu 21 hari telah menerbitkan 2 surat perintah penyidikan dan langsung menahan 7 tersangka korupsi dalam 3 kasus berbeda.

Tersangka pertama yang “dikandangkan” adalah Rusdianto,SE.MM pada tanggal 7 Januari 2014. Staf keuangan Setkab Kutim itu ditahan begitu usai diperiksa sebagai tersangka oleh Jaksa Penyidik. Rusdianto ditahan karena disangka telah membantu mencairkan  dana Bansos aspirasi anggota DPRD di Bank Kaltim tanpa prosedural.

Lalu Jumat, 17 Januari 2014 giliran “rombongan”,  empat tersangka korupsi bansos majelis taklim An Nur Swarga Bara senilai Rp 50 juta ditahan. Mereka yang semula dalam proses penyidikan tidak ditahan penyidik Polres Kutim  begitu dilimpahkan ke Kejari Sangatta langsung dijeblosan ke tahanan.  Mereka adalah Yuliana, Emma, Nurhidayat, dan Ardy Novarizon.

Kemudian, penahanan “teranyar” dan fenomental dilakukan Kejari sangatta terhadap anggota aktif DPRD kutim periode 2009-2014 Sukarni Joyo, SH.Mhum.  Pria pengusaha kaya di Kutim yang juga masih adik Gubernur Jawa Timur Sukarwo itu ditahan karena disangka melakukan korupsi dana bansos yang bersumber pada APBD Kutim tahun 2009.

Ketegasan tak kenal kompromi Penyidik maupun Penuntut umum Kejari Sangatta selalu menahan tersangka kasus korupsi “diakui” publik kaltim. Statistiknya sempurna 100 %. Artinya semua kasus korupsi di Kejari Sangatta pasti berunjung pada penahanan. Bisa dibilang, Kejari Sangatta saat ini bak kawasan “angker” bagi pelaku korupsi.  Menjadi dikawasan wajib penahanan kasus korupsi. Setidaknya dalam rentang 2 tahun terakhir ini.

Berdasarkan catatan di Kejari Sangatta, pada tahun 2012 ada empat perkara yang disidik, yaitu Alex Rohmanu, Shinta Fensylvania, Irvan Rahardi, dan David Kurniawan. Lalu tahun 2013, ada enam perkara yang disidik yaitu: Aulia kamal, Dudi Iskandar, Chaerudin Effendi Putra, Geriyanto, Sugiman,  H Syarifuddin HS. Semua tersangkanya ditahan sejak proses penyidikan. Dan semua kasusnya telah diputus Pengadilan Tipikor. Dan hasilnya, semua inkracht. Tidak ada tunggakan, apalagi ada buronan.

Memang ada kasus korupsi terakhir  yang tersangkanya tidak ditahan oleh Kejari Sangatta. Adalah Ir Luri Laksono, Kepala dinas Kelautan Pemkab Kutai timur yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan tipikor akhir 2011. Sejak penyidikan sampai penuntutan Ir Luri  memang  “lolos” dari penahanan. Kenapa terjadi?

Karena Kejari Sangatta saat itu belum menerapan “kawasan wajib penahanan”.  Dan saya saat itu (saat penyidikan) juga masih dinas sebagai koordinator di Kejati DKI Jakarta. Belum jadi dinas di  Kejari Sangatta.  Ada banyak pertanyaan, kenapa kejari Sangatta sekarang menerapkan “kawasan wajib penahanan kasus korupsi?  Padahal menurut hukum acara (baca KUHAP, penahanan bukan merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan Penyidik atau Penuntut Umum?

Tidak menahan tersangka di tingkat penyidikan dan kemudian melimpahkan perkaranya ke pengadilan Tipikor sudah jamak terjadi. Baik dilakukan penyidik Polisi atau penyidik Jaksa.  Meski  itu sah sesuai KUHAP, saya dan teman-teman Jaksa penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum di Kejari Sangatta sudah membuat  kesepakatan akan selalu melakukan penahanan. Jargonnya, “Sekali menahan, Tetap (terus) menahan” kasus korupsi. Mengapa?

Ada alasannya memang. Ada asbabun nuzulnya. Ada latar belakangnya. Pertama, dengan melakukan penahanan sejak proses penyidikan, memaksa para Jaksa penyidik bekerja keras untuk segera menyelesaikan pemberkasan. Karena pasti penyidik berpacu dengan masa penahanan. Pasti semua penyidik tidak ingin “kejadian” tersangka bebas demi hukum. Mau tidak mau penyidikan harus selesai sebelum masa penahanan habis.

Kedua, sesuai rasa keadilan masyarakat. Saya mencoba melakukan survey “kecil-kecilan” dengan cara wawancara dengan mahasiswa, wartawan, masyarakat umum, hasilnya hampir 100% responden menginginkan semua kasus korupsi harus dilakukan penahanan.  Istilahnya, korupsi=penahanan. Bahkan ada yang bilang, kasus korupsi kalau tidak dibarengi penahanan bagaikan sayur tanpa garam.

Ketiga, dengan melakukan penahanan sejak awal dapat menghindari jadi tunggakan perkara, terutama  bila terjadi terpidana jadi buronan (DPO). Dengan melakukan penahanan sejak awal, pasti dijamin tidak ada lagi buronan. Rata-rata, buronan yang dicari-cari jaksa Eksekutor saat ini berasal dari perkara yang tidak dilakukan penahanan. Atau kadang yang lepas demi hukum karena masa penahanan habis.

Keempat, dengan melakukan penahanan sejak awal juga menghindari pemborosan alias “lebih hemat”. Kok bisa? Lha iya, karena berdasarkan pengalaman, kalau  sampai terjadi suatu perkara tersangka atau terpidana menjadi buronan, biaya mencari dan eksekusinya ternyata mahal. Pengalaman saya di Sangatta, saat menangkap buron Drs. Mujiono mantan ketua DPRD Kutim, dan duo terpidana kasus divestasi Kutai Timur Energi (KTE) Anung Nugroho dan Apidian adalah buktinya.

Saya merasakan betapa mahalnya biaya menangkap mereka. Seberapa mahal memang? Yang jelas biayanya lebih mahal dibanding menangkap mereka bila mereka tidak jadi buronan he he he. Karena dengan menahan mereka sejak awal pasti saya tidak akan kehilangan biaya tiket pesawat, biaya hotel dan sewa kendaraan saat mencari mereka.

Termasuk bila buronan tertangkap,  juga harus kena biaya tiket pesawat saat membawa mereka pulang ke Sangatta. Biaya pengawalan, biaya eksekusi “membawa” ke Lapas Tenggarong. Jadi kesimpulannya, banyak manfaatnya bila kita melakukan penahanan sejak awal. Kalau tidak mau tekor, ya tahan saja mereka sejak awal. Begitu aja kok repot. (Kang DF)

Sumber : Kejari-sangatta.go.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.