Jakarta,wartakutim.com – Sebanyak 26 perkara perselisihan hasil pemilihan (PHP) gubernur, bupati, dan walikota telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (22/1).
Seluruh perkara tersebut dinyatakan tidak diterima oleh Mahkamah karena tidak memenuhi syarat persentase selisih suara maksimal antara pemohon dengan peraih suara terbanyak. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 158 UU Nomor 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang kemudian dituangkan dalam Pasal 6 Peraturan MK No. 1-5/2015.
Berarti, ini termasuk menolak gugatan Pilkada Kutai Timur yang juga dilaksanakan hari ini . Sidang gugatan Pilkada Kutim nomor perkara: 81/PHP.BUP-XIV/2016 atas nama pemohon Ardiansyah Sulaiman dan Alfian Aswad itu, dimulai sekitar pukul 16.00 wita atau 17.00 wita.
Menurut hakim Hakim Konstitusi I Dewa Gede seperti di kutip dari situs resmi Mahkamakonstitusi.go.id, putusan ini berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam UU No. 8/2015 karena terdapat perbedaan mendasar antara pengaturan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara serentak berdasarkan UU No. 8/2015 dengan pengaturan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan sebelumnya.
“Salah satu perbedaannya adalah pemilihan kepala daerah sebelumnya digolongkan sebagai bagian dari rezim pemilu, pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan berdasarkan UU No. 8/2015 bukan merupakan rezim pemilu,” papar Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna membacakan kutipan putusan.
Perbedaan tersebut, imbuh Palguna, menimbulkan konsekuensi hukum bagi Mahkamah dalam melaksanakan kewenangan memutus PHP kada. Sebelumnya, pemilihan kepala daerah merupakan rezim pemilu, sehingga penyelesaian PHP kada merupakan kewenangan konstitusional Mahkamah sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945.
“Sebagai pengawal UUD, Mahkamah memiliki keleluasaan dalam melaksanakan kewenangan konstitusionalnya. Keleluasaan inilah yang antara lain melahirkan putusan-putusan Mahkamah dalam perkara PHP kada pada kurun waktu 2008-2014 yang mengandung dimensi terobosan hukum. Putusan kala itu tidak hanya meliputi perselisihan hasil, melainkan mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif,” jelasnya.