Sangatta, wartakutim.com – Fenomena buaya di Kutai Timur ternyata tidak saja di pantau oleh masyarakat luas, namun juga telah dipantau oleh pihak Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang berpusat di Bogor, Jawa Barat. Hal ini diketahui saat kunjungan peneliti dari LIPI yang disambut oleh Pemkab Kutai belum lama ini. Namun kali ini bukanlah buaya muara yang terkenal ganas seperti yang kita ketahui bersama, tetapi buaya yang menjadi ketertarikan oleh pihak LIPI ialah buaya supit.
Kepala Bagian Sumber Daya Alam (SDA) Setkab Kutim Pranowo mengatakan jika, kertertarikan peneliti-peneliti asal LIPI tersebut memang wajar sekali. Mengingat buaya yang di maksud tersebut ialah buaya supit alias Gharial atau dalam bahasa latinnya ialah Tomistoma schlegelli, yang keberadaannya dulu terdapat di Jawa, dan Kalimantan yakni tepatnya di Kutai Timur. Bahkan kini di Vietnam dan Thailand tidak lagi ditemukan buaya sejenis hidup di alam liar, kalaupun ada banyak berada dalam penangkaran.
Perlu diketahui jika Gharial menghabiskan sebagian besar waktunya di dalam air karena hewan ini tidak cocok untuk hidup di darat lantaran kakinya yang pendek. Gharial (bersama dengan buaya air asin dewasa yang lebih besar) adalah hewan terpanjang dari kelompok reptil besar ini. Beberapa laporan menunjukkan gharial jantan dewasa bisa memiliki panjang hingga enam meter lebih. Moncong memanjang gharial sangat ideal untuk menangkap ikan di dalam air dan memiliki lebih dari 50 gigi tajam.
Gharial umumnya adalah predator soliter dan tidak memiliki reputasi menakutkan memakan manusia seperti buaya muara. Meskipun gharial dikenal bisa menunjukkan perilaku agresif terhadap manusia sesekali waktu, bentuk moncongnya yang panjang mempersulit reptil ini untuk menyantap sesuatu yang terlalu besar. Buaya supit ialah hewan karnivora dan predator yang makanan utamanya ialah ikan, serangga, dan terkadang hewan-hewan kecil lainnya.
“Adapun mengenai info yang mengatakan bahwa keberadaan habitat buaya tersebut terancam di Kutim. Tidaklah benar, karena apa! Itu karena permukaan air tempat habitat buaya berada mengalami penurunan, bisa saja ini terjadi karena kemarau beberapa waktu lalu. Makanya pihak kami akan turun ke lapangan bersama dengann pihak BLH dan lain-lain, untuk mengetahui perihal lebih lanjut. Bahkan nantinya kita akan melakukan semiloka untuk mencoba mengusulkan wilayah habitat buaya supit menjadi kawasan ekosistem esensial,” jelasnya saat dihubungi.
Sementara itu, Benny Hermawan Kepala UPTD Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Dinas Kehutanan Kutim ditemui belum lama ini mengungkapkan jika dirinya pernah mendapatkan laporan dari warga di Muara Ancalong sekitar tahun 2004 lalu. Bahwa di Danau Kelinjau telah ditemukan oleh warga sekitar terkait keberadaan Buaya Supit, di Desa Muara Dun. Laporan tersebut diterimanya saat masih bertugas di Badan Lingkungan Hidup (BLH).
Sehingga pada waktu itu pihaknya langsung menghubungi Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) untuk terjun langsung ke lapangan, sehingga dapat dikatakan keberadaanya sudah di ketahui sejak lama. Buaya supit sendiri tidaklah ganas seperti buaya muara atau buaya Sangatta, seperti yang diketahui oleh masyarakat. Mengingat buaya supit adalah buaya yang hanya memakan tumbuh-tumbuhan, ikan, dan hewan kecil.
“Bupati Ismunandar sendiri setahu saya, sangat tertarik dan mendukung sekali dengan keberadaan buaya supit. Sehingga lokasi Danau Kelinjau di Desa Muara Dun akan segera di enclave untuk kepentingan perlindungan maupun penelitian. Bahkan Tim dari Jerman, menjelaskan jika keberadaan buaya supit sangatlah langka, apalagi dalam temuan yang ada diketahui jika buaya supit yang berada di alam dapat dikatakan langka, kini satu-satunya hanya ada di Kutim,” ungkap Benny.(Nall)