SANGATTA – Jumlah pasien dalam tiap harinya yang berobat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kudungga, dalam kalkulasi 80 hingga 85 persen menggunakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang 20 hingga 25 persen lainnya merupakan pasien umum atau tanpa menggunakan BPJS. Hal ini ditegaskan Humas RSUD Kudungga Jumran, dalam acara Dialog Keperempuanan “BPJS Kesehatan Antara Teori dan Praktek” yang digelar Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KNPI Kutim.
“Ada peraturan baru, yang dari Puskesmas tidak bisa langsung dirujuk ke RSUD Kudungga kelas b. Sehingga dari Puskesmas rujukan akan dilakukan ke rumah sakit kelas c, jika kemudian tidak mampu menangani karena soal alat maupun tenaga medisnya, baru kemudian ke RSUD Kudungga. Otomatis sebelum peraturan ini muncul jumlah pasien yang ditangani membludak, dengan berlakunya peraturan tersebut otomatis mempengaruhi jumlah pasien berkunjung,” terangnya.
Jika ada kesan berbeda dilakukan RSUD, ketika menangani pasien-pasien yang menggunakan BPJS tentu itu tidak benar. Jumran mengatakan semua hak pasien sama didapatkan baik yang umum maupun yang menggunakan BPJS. Yang berbeda itu adalah regulasi, jika umum tidak terlalu ribet urusan surat-menyurat, sementara BPJS perlu administrasi lain yang dilakukan dalam urusan surat-menyuratnya.
“Pasien umum langsung membayar tanpa ada rujukan, dan hal-hal lainnya. Sementara pasien BPJS harus membawa surat rujukan, tanpa adanya rujukan bisa-bisa dipertanyakan. Kalau segi pelayanan diruangan sama sekali tidak dibedakan. Sehingga harus betul-betul spesifik, jika ada perbedaan maka bisa dilaporkan pada pihak manajemen RSUD. Kalau terjadi pihak kami siap memberifing perawat atau staf kami,” jelasnya.
Ketika ada komplain pasein terkait BPJS, maka domainnya adalah pihak BPJS dan bukan pihak RSUD. Jumran menyangkan jika tejadi hal seperti itu, petugas BPJS tidak berada alias stand by di RSUD Kudungga. Yang ada adalah pihak rumah sakit, ketika ada komplain terkakit regulasi BPJS, dengan apa adanya pihak rumah sakit menjawab.
“Kalau tidak bisa dijawab, terpaksa kami menanyakan ke pihak BPJS melalui telpon. Inilah yang jadi masalah, dan perlu saya sampaikan juga terkait pasien-pasien yang datang, tidak semua ada jaminan. Ketika ditanyakan kenapa anda tidak ada jaminan atau tidak masuk BPJS. Lalu dijawab dirinya tidak memiliki KTP, belum dicetak. Sehingga ini masalahnya bukan lagi soal rumah sakit, bukan lagi BPJS, ini masalahnya sudah lintas sektoral,” ungkapnya.
Humas RSUD Kudungga Sangatta mengakui jika pasien-pasien seperti ini, rata-rata datang dari pelosok-pelosok atau kecamatan-kecamatan yang jauh. Dititik ini pihak RSUD kebingungan, soal siapa yang menjamin. Sementara Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM, red) sudah dihapuskan, sejak tahun 2017 lalu. Jamkesprov sudah dihapus, yang ada saat ini dan baru muncul lagi di Dinas Kesehatan adalah Program Jaminan Persalinan (Jampersal, red).
“Sehingga permasalahan ini harus dibedah, mengingat dilapangan pasti ditemukan permasalahan-permasalahan seperti yang disebutkan tadi. Terkadang saat hendak tidur malam atau saat shubuh, tiba-tiba ditelpon terkait perihal ini. Karena nomor handphone saya ditempel diruangan, jadi namanya tugas tetap dilayani. Dan saya akan jawab jika yang ditanyakan itu terkait dengan layanan,” terangnya lebih jauh. (Arso)