SANGATTA – Berbincang lebih jauh dengan anak-anak muda serta komunitas-komunitas kreatif di Kutai Timur, Mahyunadi mengajak bagaimana mereka jangan pernah putus semangat. Kembali mengingat soal duduk di DPRD Kutim pada masa awalnya, lelaki yang kini menjadi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur ini kemudian membeberkan ceritanya lebih jauh.
Pada masa itu berlaku nomor urut, belum seperti sekarang dimana berdasarkan suara terbanyak. Jika mengacu pada suara terbanyak, Ibu Agati Suli memperoleh suara sekitar 4.000 lebih pada masa itu. Berdasarkan nomor urut ada nama Bahrid Buseng pada urutan pertama, disusul Sutiman pada nomor urut dua, dan Mahyunadi sendiri pada nomor urut ketiga.
“Saat masuk ke DPRD Kutim diawal, tentu sebagai orang baru saya memakai rumusan “Pokoknya”, orang-orang Sangatta pakai ilmu pokoknya. Apalagi jika sudah berdebat kalah, tentu kuncinya pokoknya. Namun semua tentu berubah menjelang Pemilu Legislatif tahun 2009, jujur saya katakan hampir saya tidak terpilih pada saat itu,” ungkapnya sembari menertawakan pengalaman dirinya.
Tahun 2009 merupakan masa genting bagi politisi yang dikenal Sang Petarung tersebut, karena menurut prediksi orang-orang kebanyakan. Mahyunadi dipastikan kalah, calon legislator petahana yang tidak bakal duduk untuk periode keduanya. Prediksi tersebut dikarenakan dirinya dianggap memiliki gaya hidup glamor, tiap malam hidup nongkrong di tempat hiburan malam.
“Saya dimarahi oleh Kak Mahyudin saat itu, kamu membikin malu nama keluarga. Dengan itu saya sadar bahwa saya harus berubah menjadi lebih baik dibandingkan masa sebelumnya. Untung saja pada masa itu pola pemilihan berubah, bukan lagi melalui nomor urut namun suara terbanyak. Dalam pemilihan langsung, saya kemudian berfikir ini memang dunia saya. Soal suara, tentu akan sulit pada waktu itu mendapatkan suara dari orang-orang baik. Maka karena sempat berada dipusaran orang tidak baik, saya manfaatkan itu sebagai saran mendulang suara pemilih,” ungkapnya.
Ustadz dihitung satu suara, begitupun preman juga dihitung satu suara dalam demokrasi. Sehingga hal ini menjadi titik balik baginya untuk merubah keterpurukan menjadi kebangkitan. Ternyata benar, Ustadz didatangi 3 calon anggota DPRD agar dapat terpilih. Tentu Ustadz kebingungan dengan perihal itu dan bisa jadi memilih aman tidak memilih karena takut mengecewakan ketiganya. Sedangkan Mahyunadi tetap mendatangi dua pilihan tersebut, namun tentu membuka diri untuk mendapatkan pula suara dalam pemilu dari preman (orang yang dianggap berperilaku diluar norma, red).
“Saya kemudian duduk pada periode kedua, Alhamdulillah. Tentu betapa bodohnya saya jika hingga saat ini tidak berubah menjadi manusia yang lebih baik. Sehingga pemilih-pemilih saya yang dianggap preman tersebut, pelan-pelan saya ajak untuk berubah menjadi baik dan meninggalkan masa lalu yang kelam. Kini mereka telah melaksanakan sholat lima waktu tanpa pernah meninggalkan kewajiban tersebut, sungguh Allah Maha Penyayang,” paparnya.
Duduk kembali pada tahun 2009 dengan suara sebesar 2.005 pemilih, dan Mahyunadi meyakinkan anak-anak muda bahwa dirinya tidak pernah melakukan kegiatan money politics. Semua suara yang didapatkan berdasarkan like or dislike, tentu berdasarkan investasi sosial yang dilakukannya sejak jauh-jauh hari.
“Pernah sich sekali, itupun bukan saya pribadi namun orang dalam tim saya dan tidak perlu saya sebutkan namanya disini. Pada waktu itu dirinya datang dan mengatakan bahwa kita akan kalah kalau tidak menyerang di daerah titik-titik. Lalu saya katakan kalau kamu menyerang dengan money politics percuma, dan susah mengembalikan uangnya. Namun orang tersebut tetap ngotot dan bergerak sendiri, dirinya meminta kepada saya supaya diam dan tidak ikut campur. Ternyata apa yang dilakukannya tidak berpengaruh, tetap tidak menang untuk daerah titik-titik. Saya tertawakan saja, karena saya dididik orang tua tidak dengan cara seperti itu,” tegasnya.