Kalangan DPRD Kutim membantah jika selama ini mereka membagi-bagikan proyek melalui aspirasi dewan, menurut Ahmad Musa apa yang dilakukan dewan dengan menyalurkan aspirasi rakyat tiada lain sebagai bentuk tanggungjawab kepada rakyat.
Dalam pertemuan dengan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kutim, Ahmad Musa menyebutkan tidak ada penentuan pelaksana pekerjaan. Bahkan ia mengaku, soal aspirasi itu bermula ia dikejar wartawan yang menanyakan soal isu proyek aspirasi bernilai Rp8 M. “DPRD tidak punya aspirasi, itu aspirasi masyarakat yang disampaikan anggota DPRD dalam musrenbang kemudian diakomodir menjadi proyek dalam program pemerintah dengan nilai paket bervariasi, saya sendiri belum tentu bisa menyerap semua dana yang ada,” terang Ahmad Musa, Senin (9/12).
Lebih jauh, Ahmad Musa sebagai orang pertama mengemukan setiap anggota DPRD Kutim minimal mendapat Rp7 M untuk proyek aspirasi, menuding wartawan salah dalam menulis berita soal aspirasi rakyat. Menurutnya, kalau anggota DPRD Kutim bagi-bagi proyek salah dan bisa dihukum. “ “Jadi DPRD tidak pernah bagi proyek, berita yang ditulis wartawan itu salah. Kalau anggota DPRD bagi proyek itu pelanggaran hukum, karena itu bukan tugas DPRD, tapi itu tugas PU,” lanjut Ahmad Musa dalam pertemuan yang dipimpin Harjuna Ali dan dihadiri Rais Sunta.
Dengan suara lantangnya, Ahmad Musa menyebutkan, ia pernah didatangi seorang kontraktor dengan membawa rekomendasi proyek namun ia tidak bersedia menandatangani karena tahu salah.
Namun berbeda dengan satu gepok dokumen yang dimiliki Kejaksaan Sangatta, tertera jelas adanya surat khusus kepada Kepala Dinas PU Kutim Aswandini Eka Tirta terhadap penunjukan pelaksana proyek yang isi suratnya menyatakan sebagai pemilik aspirasi dan mempercayakan pelaksanaan pekerjaan kepada kontraktor yang tertera dalam daftar.
Terhadap penjelasan Ahmad Musa yang berapi-api, kalangan Civitas GMNI Sangatta hanya senyum-senyum bahkan mereka meyakini apa yang dikemukakan Ahmad Musa bertolak belakang dengan data yang mereka punya. “Kami enggan berdebat saja karena sudah mau waktu shalat, padahal faktanya ada dokumen dimana anggota dewan melampaui kewenangannya dalam pelaksanaan proyek aspirasi yang tiada lain pengganti bansos aspirasi,” sebut Hendra dan Aleks Bajo.(sk)