Penulis : Rail Fauzan
WARTAKUTIM.CO.ID, OPINI – Kampus STAI Sangatta baru-baru ini menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan mahasiswa terkait beragam isu mulai dari Sarana dan Prasarana (Sapras), fasilitas kampus, infrastruktur, hingga kenaikan iuran pembayaran Mahasiswa Reguler dan Weken, serta transparansi dana dan keterbukaan informasi publik perguruan tinggi. Hal-hal ini mengundang keprihatinan terhadap integritas pendidikan.
Namun, di balik semua kritik tersebut, muncul pertanyaan: apa sebenarnya misteri yang tersembunyi di balik layar? Dan teater seperti apa yang sedang dimainkan di belakang panggung?
Penting untuk diingat bahwa dasar hukum keterbukaan informasi publik telah diatur dalam UU No 14 Tahun 2008 dan PP No. 61 Tahun 2010. Begitu juga dengan kewajiban yayasan yang telah diatur dalam UU No.16/2001. Namun, respons yang diberikan pihak lembaga terhadap kritik tampaknya masih belum memuaskan.
Selain itu, masalah fasilitas yang tidak memadai dan tidak sesuai standar juga menjadi perhatian serius. Meskipun dana hibah telah diterima, tetapi persoalan tersebut masih terus berlanjut tanpa titik terang.
Kritik mahasiswa bukanlah hal baru, namun kali ini mencuat melalui media sosial dengan durasi yang cukup signifikan. Namun, tanggapan dari pihak lembaga terkesan konsisten dalam mengalihkan tanggung jawab kepada yayasan.
Sangat disayangkan bahwa perguruan tinggi yang berlokasi strategis harus menghadapi berbagai masalah ini, terutama ketika sumber daya alamnya cukup melimpah. Namun, sampai saat ini, tidak ada tanggapan yang memuaskan dari pihak yayasan.
Kemudian, arah STAI Sangatta ke depan menjadi pertanyaan besar. Jika semua masalah ini tidak dapat diselesaikan oleh pihak lembaga, yayasan, atau pemerintah daerah, kemana perguruan tinggi ini akan menuju?
Tingkat kesadaran sebagai individu yang terdidik dan berpengetahuan juga dipertanyakan ketika ketimpangan terus dibiarkan terjadi. Apa artinya hukum jika tidak diterapkan dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan bernegara?
Di samping itu, sikap yang kontra terhadap kritik mahasiswa juga disayangkan. Keterlibatan aktif dalam meningkatkan mutu pendidikan seharusnya menjadi peran semua pihak. Namun, ironisnya, sikap tersebut terkadang mengingatkan pada kata-kata Soe Hok Gie bahwa, meskipun kita merayakan demokrasi, kita juga harus menghargai suara-suara yang kritis.
Sekarang, mahasiswa diharapkan dapat menjadi penggerak untuk menyelesaikan permasalahan ini, dan meminta kerjasama dari pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan misteri yang menyelubungi Kampus STAI Sangatta sebelum masalah ini berkembang menjadi lebih kompleks.