
(Photo : Rachman | Solopos.com)
DPR RI akan mengusulkan pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak langsung atau diserahkan ke DPRD lewat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Hal ini mendapat banyak kritikan dari Kepala daerah, tokoh masyarakat tokoh pemuda, Politisi, akademis dan masyarakat.
Ini merupakan sebuah kemunduran bagi kehidupan berdemokrasi di indonesia, seperti yang pernah di utarakan Bupati Kutai Timur Isran Noor. Menurutnya jika pilkada dipilih oleh DPRD maka, ini akan merampok hak hak rakyat dalam berdemokrasi.
“Ini sebuah kemunduran jika hal tersebut terjadi.”kata Isran Noor (Baca : Isran Noor : Gubernur Sebaiknya di Tunjuk Langsung Presiden).
Menurutnnya, selain kemunduran bagi demokrasi di Indonesia, hal ini juga sangat bertentangan dengan undang undang otonomi daerah. Jika RUU Pilkada disahkan maka undang undang otonomi daerah juga harus di rubah dan ini mejadi PR bagi anggota DPR RI.
Isran mengatakan Seperti dikutip di media online Sorot News, kalau Pilkada dipilih oleh DPRD nantinya para bupati dan wali kota akan sibuk hanya untuk ngurusi DPRD, dan bukannya memperhatikan rakyat, karenakepala daerah itu merasa berhutang budi kepada DPRD yang telah memilihnya.
“Itu pernah terjadi waktu pemberlakuan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pilkada. Saat itu terjadi instabiltas di beberapa pemerintahandaerah, akibat semua aktifitas kepala daerah direcoki oleh DPRD. Bahkan dua hari sebelum memberikan laporan pertanggungjawaban (LPJ), sudah ditolak oleh DPRD, karena tidak sesuai dengan kepentingan DPRD.Seperti terjadi kepada Walikota Bontang,” tambah Isran.
Selain Isran Noor yang menolak Pilkada dipilih oleh DPRD, Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau akrab disapa Ahok, tidak setuju dengan sikap beberapa anggota DPR RI khususnnya yang menginginkan systim Pilkada di Pilih DPRD yang mana berasal dari Koalisi Merah putih yang mana digawani oleh Fraksi Golkar, Gerindar, Demokrat, PKS, PAN dan PPP ini.
Alasan Ahok tidak setuju dengan proses itu, pilkada tidak langsung tak menjamin politik uang berhenti. Justru pilkada lewat DPRD bakal memperkaya anggota dewannya.”Akar masalahnya bukan soal biaya tinggi pemilihan langsung. Mereka berpikir nyogok Rp 10 juta orang capek, mending nyogok ratusan anggota DPRD,” kata Basuki usai menghadiri Indonesian Robotic Olympiad, di Tzu Chi School, Jakarta, Sabtu (6/9/2014), seperti dikutip Tribunnews.com.
Basuki menjelaskan, apabila seseorang ingin menjadi pejabat, hartanya jangan hanya dicocokkan dengan pemilikan sertifikat saja. Namun juga diperiksa berasal dari mana harta yang didapatkan itu. Kemudian, dicocokkan dengan pajak-pajak yang telah dibayar.
“Kalau enggak cocok, ya hartanya sita buat negara, dia tidak pantas jadi pejabat. Hari ini bangsa kita penuh oleh orang politik munafik. Di satu sisi, teriak-teriak jangan nyolong duit tapi enggak mau diperiksa hartanya,” kata mantan anggota Komisi II DPR RI itu.
Lain halnya dengan pendapat dari Politisi Partai Hanura Erik Satya Wardhana menilai, pemilihan kepala daerah oleh DPRD tak menjamin akan mengurangi praktik politik uang yang kerap menjamur di masyarkat. Sebaliknya, mekanisme itu justru membuat politik transaksional semakin menjadi di level parlemen.
“Justru lebih vulgar transaksi yang terjadi di parlemen klo itu dilakukan. Saya kira itu bukan alasan, itu hanya alasan yang dibuat-buat,” kata Erik saat berbincang dengan Kompas.com, di Jakarta, seperti di kutip Tribun News.Sabtu (6/9/2014)