Batu bara wan batang kayu.
Mantan jaman Mulawarman
Tambangan balarut sini
Kuda heran balarut di sungai Mahakam
Kuda heran balarut di sungai Mahakam.
(Lirik lagu “Balarut di Sungai Mahakam”)
A. Kerajaan-Kerajaan Kutai di Muara Kaman
Mengapa sang vamsakreta (mula dinasti) Kudunga maupun raja-raja penggantinya, yaitu Mulawarman dan Aswawarman, cenderung untuk memilih Muara Kaman di Kabupaten Kutai Kartanegara sebagai ibukota kerajaan (istilah arkhais “kadatwan” atau “karajyan’)-nya hingga kurun waktu amat panjang (abad IV sd medio abad XVII Masehi)? Boleh jadi, areal kadatwan itu berada di Benua Lawas, pada tanah membukit benama “Brubus (arti ksta “brubus” adalah awal tumbuh, menyerupai arti kata “trubus”) beserta rawa-rawa purba sekitarnya. Unsur sebutan “benua (varian sebutannya “banua”) berasal dari bahasa Sanskreta “vanua (kadang ditulis “wanua”) berarti: desa. Unsur toponimi “benua”, seperti pada sebutan “Benua Lawas” di Desa Muara Kaman Hilir, sebutan “Benua Tuha” pada Desa Sabintulung, dan sebutan “Benua Puhun” menjadi indikator akan “arkhaistas” tempat-tempat itu.
Adapun unsur sebutan “lawas (lama, tua)” menjadi petunjukkan bahwasanya areal yang berada di DAS Kedang Rantau ini merupakan desa (wanua) kuno yang konon menjadi “sentra permukiman” warga Muara Kaman di masa lampsu. Informan setempat menuturkani bahwa relokasi permukiman dari areal Benua Lawas ke tepi Mahakam dan Kedang Rantau baru berlangsung pada awal tahun 1900-an. Oleh karena itu, dapat difahami bila di areal ini banyak ditemukan artefak bahari (masa lalu), termasuk tujuh buah prasasti Yupa, Lesong Batu, reruntuhan sejumlah candi, makam-makam lama, jejak benteng kuno, sisa arsitektur rawa tipe bangunan panggung, dsb. Demikian pula, dapat dimengerti apabila di eks rawa-rawa purba di Jempet dan di Tambak Malang pada tahun 1980-an diketemulan sisa kapal sungai yang tenggelam. Legenda lokal “Aji Bidara Putih” pun berkisah tentang penenggelaman kapal Cina di Danau Lipan.
B. Geo-Stategis Muara Kaman
Jawab atas pertanyaan pada awal tulisan ini adalah lantaran “posisi geografis” dari Muara Kaman, yang berada di muara Kedang Rantau maupun Kedang Kepala pada sub-DAS Tengah (Midle) Mahakam. Lantaran itu pula, dulu Muara Kaman ambil penting sebagai penghubung + mediator (antara kawasan pada sub-DAS Hulu (Upper) Mahakam dan “anak” sungai (kedang) maupun “cucu” sungai (loa)-nya yang berlimpah sumber daya alam (SDA) — dalam keterangan prasasti-prasasti Yupa adalah emas, minyak, dan hasil tanaman hutan (utamanya kayu gaharu) — dengan sub-DAS Hilir (Lower) Mahakam yang mempunyai akses ke pulau-pulau seberang serta negara-negara manca. Pada posisinya di “percabangan tiga penjuru” itulah, Muara Kaman dapat dibilang mempunyai “geo-stategis”. SDA yang banyak berada di sub-DAS Hulu dan Tengah tak dapat dihilrkan melalui jalur air (sungai) bila tanpa melintasi daerah Muara Kaman yang berada sub-DAS Tengah Mahakam. Pendek kata, konon Muara Kaman adalah “daerah perlintasan” lalu lintas barang di prasarana perniagaan Mahakam.
Berkat geo-strategisnya itu dan keberadaan perairan yang berupa sungai, rawa dan danau (dalam tradisi lisan lokal dikisahkan mengenai adanya “Danau Lipan”), konon pada perairan Muara Kanan pernah hadir pelabuhan sungai jenis “transito (interport)”, dimana hasil alam dari daerah pedalaman di sub-DAS Hulu dan Tengah dikirimkan dengan perahu, dibongkar di pelabuhan transito, lantas dimuat ke kapal pembeli dari luar pulau dan negeri luar untuk selanjutnya di bawa menuju ke hilir fann kemudian diteruskan ke tempat asal pembeli barang. Kendati Muara Kaman tidak berada di pesisiran, alih-alih terletak cukup jauh di pedalaman pulau Kalimantan, namun lantaran geo-stategisnya itu disinggahi oleh para pedagang dari tempat-tempat yang jauh untuk mendapatkan hasil alam penting dibutuhkannya.
Muara Kaman terbukti telah semenjak awal tarikh Masehi dikalkulasi sebagai “produsen” hasil bumi yang potensial, dan sekaligus sebagai tempat bagi “pemasaran” yang baik bagi barang dagangan dari tempat asal pedangang pendatang dengan model transaksi “barter”. Banyak pedagang luar daerah atau luar pulau (Bugis, Makasar, Butun — suatu varian sebutan untuk “Buton”, Banjar, Malayu dsb.) maupun dari negera-negara manca (antara lain : India, Cina, Timur Tengah, dsb.) berdatangan di pelabuhan transito Muara Kaman. Bahkan, sejak abad II dan kemudian abad IV Masehi, pedagang dan rokhaniawan India jauh jauh menghulu sungai Mahakam, menempuh perjalanan air lebih dari 100 Km, demi “memburu SDA” yang kala dulu di-pull di pelabuhan tranasito Muara Kaman.
Atas dasar pemahaman itu, cukuplah alasan untuk menyatakan bahwa “siapa yang menguasai Muara Kaman, maka dialah yang memegang hegemoni atas perniagaan di DAS Mahakam”. Hal itu pula yang menjadi pemicu bagi Pengeran Sinum Panji Mandapa dari Kasultanan Kutai Kartanegara untuk perluas kekuasaan dengan melakukan ekspansi militer ke Muara Kaman pada medio abad XVII Masehi. Nusa (pulau) Martapura — acap mendapat sebutan “Gunung Martapura” — yang terletak pada seberang Mahakam sebagai basisnya. Oleh karena itu, menurut pustaka “Salasilah Kutai (Bab XXX)” pada nama gelarnya ditambahkan perkataan “ing Matapura” pasca berhasil menempatkan Muara Kaman yang kala itu berada di bawah perintah raja Darmasetia di bawah naungan “payung (panji)” kekuasaan Kasultanan Kutai Kartanegara sejak medio abad XVII hingga tahun 1950-an.
C. Dinamika Peradaban Maritim Sungai
Demikianlah, pada kurun waktu yang amat panjang, semenjak awal tarik Masehi hingga tahun 1950-an, tumbuh dan berkembang dua monarkhi di DAS Mahkam, yaitu: (1) Kerajaan Kutai berkadatwan di Muara Kaman, selama 1,3 milenium (abad IV-XVII Masehi) pada sub- DAS Tengah serta Hulu, (2) Kerajaan — lantas berubah menjadi “Kasultanan” bernama Kutai Kartanegara di sub- DAS Hilir dan di sebagian sub-DAS Tengah Mahakam. Bahkan, apabila ditelisik jauh ke belakang, pada sub-DAS Hulu dan Tengah Mahakam didapatkan pula jejak- jejak kehidupan Prasejarah, sejak Masa Berburu dan Mengumpul Makanan tingkat lanjut hingga memasuki Masa Perundagian. Peraihan dari Zaman Prasejarah ke Zaman Sejarah pada DAS Mahakam berlangsung di kawasan Muara Kamam. Pebemuan prasasti-prasasti Yupa di Muara Kaman menjadi bukti bahwa “Mula Sejarah” serta “Tonggak Awal Tradisi Literal” Nusantara berangsung di kawasan Muara Kaman.
Demikianlah, ada semacan “kalkulasi cerdas” dari leluhur untuk memilih dan menjadikan areal Muara Kaman yang memiliki geo-staregis tersebut untuk dijadikan sebagai pusat pemerintahan (karajaan), sentra perdagangan, dan ajang penumbuhan dan pengembangan peradaban. Lataran areal tumbuh dan kembang peradaban arkhais dari dua kerajaan/kasultanan Kutai itu berada di DAS Mahakam, maka tepat untuk dinyatakan sebagai “Dinamika Sejarah Peradaban Maritim Sungai di Mahakam”. Semoga tulisan ringkas beserta foto-foto terlampir memberi kefaedahan. Terima kasih atas kerja samanya. Nuwun.
Tenggarong, 2-3 Desember 2019
Patembayan CITRALEKHA
Ketua Dewan Pengarah LKTN (Lembaga Kajian Tanamula Nusantara) M Dwi Cahyono