Hidup tentu terus bergerak, walau tak pernah terbayang akan nasibnya hari ini menjadi anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur dan pernah jadi Ketua DPRD Kutai Timur. Tetapi kesempatan akan selalu ada, ketika Kutai Timur dimekarkan dari Kutai Induk (Kutai Kartanegara, red) disitulah titik pijakan perubahan muncul.
“Beranjak dari Mahyudin menjadi Wakil Ketua DPRD Kutim, lalu jadi Wakil Bupati, dan pada tahun 2003 jadi Bupati Kutim. Pada saat pencalonan legislatif 2004, saya dipaksa untuk nyalon jadi anggota dewan dari partai Golkar. Jujur saya tidak tertarik, mengingat pada 2001 saya telah jadi Ketua HIPMI Kutim. Tentu telah banyak mengenal bagaimana mendapatkan proyek atau pekerjaan, apa itu dewan, terlebih saya tidak memiliki ilmunya,” terang lelaki kelahiran Balikpapan ini.
Tidak punya izasah SMA, maka hal tersebut tidak lantas memadamkan mimpinya. Pada tahun 2003 Mahyunadi ikut kejar Paket C di Dinas Pendidikan Kutim, untuk mendapatkan izasah persamaan SMA/SMK. Pada 2004, ia kemudian duduk sebagai anggota legislatif dengan pengetahuan yang minim tentang politik.
“Jadi Ketua HIPMI pada 2002, dijaman Bupati masih Bapak Awang Faroek Ishak. Saya banyak dapat pekerjaan, karena Beliau senang dengan saya. Kenapa? Karena saya tidak memiliki modal, namun saya memiliki akal. Tahu bahwa Bupati tinggal di sekitaran wilayah Patung Singa (dulu belum ada, red) dan kantornya di Jl Soekarno-Hatta, lantas saya sewa kantor sekretariat HIPMI yang letaknya di Bank Mandiri saat ini,” ungkap Mahyunadi.
Keberadaan kantor yang ramai dengan aktifitas calon pengusaha-pengusaha muda saat itu membuat Bupati Awang Faroek Ishak melirik tajam. Mengingat ketika Bupati pergi ke kantor saat pagi dan pulang kantor sore hari, kondisi kantor HIPMI tetap ramai dan hidup.