Nasional

Pemerintah Akan Revisi Aturan Perdagangan Digital, TikTok Shop Merespons Keluhan Penjual Lokal

944
×

Pemerintah Akan Revisi Aturan Perdagangan Digital, TikTok Shop Merespons Keluhan Penjual Lokal

Sebarkan artikel ini

JAKARTA – Pemerintah telah mengumumkan niatnya untuk merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 50 Tahun 2020 yang mengatur perizinan usaha, periklanan, pembinaan, dan pengawasan pelaku usaha dalam perdagangan melalui sistem elektronik. Hal ini telah memicu reaksi dari pihak TikTok terkait implikasi yang mungkin terjadi pada layanan TikTok Shop.

Juru bicara TikTok Indonesia menjelaskan bahwa mereka telah menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang menginginkan kejelasan mengenai dampak peraturan baru ini.

“Sejak pengumuman ini, kami telah menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang mencari kejelasan terkait peraturan yang baru,” kata juru bicara TikTok Indonesia kepada CNBC Indonesia pada Senin (25/9/2023).

Mereka menekankan pentingnya social commerce sebagai solusi nyata untuk membantu Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) berkolaborasi dengan kreator lokal guna meningkatkan lalu lintas ke toko online mereka.

Pihak platform berkomitmen untuk tetap patuh pada hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Namun, mereka juga berharap pemerintah dapat mempertimbangkan dampak dari kebijakan ini pada jutaan penjual lokal dan kreator afiliasi yang menggunakan TikTok Shop.

“Kami akan selalu mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, tetapi kami juga berharap pemerintah mempertimbangkan dampaknya terhadap mata pencaharian 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta kreator afiliasi yang menggunakan TikTok Shop,” tegas juru bicara TikTok Indonesia.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) menjelaskan bahwa revisi Permendag akan mencakup tata kelola sistem perdagangan digital. Salah satu perubahan yang akan dibahas adalah bahwa media sosial hanya boleh digunakan sebagai fasilitas promosi dan tidak diperbolehkan untuk melakukan transaksi langsung.

“Social commerce hanya boleh digunakan untuk memfasilitasi promosi barang atau jasa, transaksi langsung tidak diperbolehkan. Ini mirip dengan iklan televisi, yang dapat digunakan untuk promosi, tetapi tidak menerima pembayaran langsung. Ini adalah platform digital yang bertujuan untuk mempromosikan produk atau jasa,” kata Zulhas.

 

Kebijakan ini juga mengharuskan pemisahan antara media sosial dan e-commerce untuk memastikan bahwa satu perusahaan tidak menguasai algoritma di dalamnya. Media sosial juga tidak diizinkan menjadi produsen. Selain itu, kebijakan ini juga mencakup produk impor, yang akan diperiksa lebih ketat dalam hal sertifikasi halal untuk makanan, BPOM untuk produk kecantikan, serta standar untuk produk elektronik. Selain itu, transaksi produk impor dari e-commerce harus memiliki nilai minimal sebesar US$100. (cp/cnbc)