MAKASSAR – Minyak dan Gas (Migas) merupakan penopang utama bagi pemasukan kas negara, sejak negara ini merdeka pada tahun 1945. Terkait perihal ini, tentu tidak dapat dilepaskan dari sejarah Ibnu Sutowo menjadi Direktur Utama dari tahun 1968 hingga 1976.
Dimana melalui dirinya, Pertamina tetap mampu berdiri sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak dalam usaha migas, tetap berorientasi nasionalisme. Seperti disebutkan Pimpinan Redaksi (Pimred) Media Indonesia, Usman Kasong saat memaparkan materi mengenai peran media dalam membangun opini publik terkait industri hulu migas, pada Selasa (8/10) kemarin.
Ibnu Sutowo mampu menacapkan salah-satu konsep kunci bisnis migas di Indonesia, yakni Production Sharing Contract (PSC). Sehingga nasionalisme migas dalam orientasi bisnis di Indonesia negara tetap memegang kunci alias penguasaan tetap berada ditangan negara dan perusahaan minyak asing hanya berposisi sebagai kontraktor.
“Model PSC inilah yang dipergunakan negara, dalam masa sekarang dimodifikasi menjadi PSC Gross Split. Indonesia tetap menjadikan migas sebagai properti negara atau state property,” ungkap lelaki yang pernah menjadi tim media Jokowi-Ma’ruf Amin.
Selain PSC, ada konsep kunci dalam bisnis migas di Indonesia. Yakni PSC gross split, cost recovery, dana bagi hasil migas, hulu vs hilir migas, proses terbentuknya migas, hingga eksplorasi migas.
Lebih jauh Usman Kasong menekankan bahwa siapa yang melaksanakan jurnalisme migas? Karena tidak semua wartawan yang meliput perihal migas punya latar belakang atau pengalaman spesifik di bidang migas. Maka pelaksana jurnalisme migas pertama-tama jelas wartawan atau media yang jelas didukung fakta-fakta lapangan oleh humas atau public relation perusahaan.
“Tentu ini akan membawa dampak pada upaya memverifikasi hoaks, dan menampilkan jurnalisme yang benar tentunya,” terangnya. (Arso)